Wilayah Palestina dari tahun ke tahun |
Dalam Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights dijelaskan “Semua Orang dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan Hak yang sama….” Dan dijelaskan pula dalam Pasal 3 Universal
Declaration of Human Rights, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan,
dan keselamatan individu.” . Sebuah ketentuan dari prinsip-prinsip
internasional yang diciptakan untuk menjamin eksistensi manusia dalam mempertahankan
hak-hak dalam keberlangsungan
hidupnya. Namun apabila melihat dalam
suatu kerangka praktik sekarang, kita menemukan bahwa masih terjadi banyak
pelanggaran-pelanggaran dalam skala yang cukup besar terhadap prinsip-prinsip tersebut. Apakah ini membuktikan bahwa lemahnya peran
hukum intenasional dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan internasional? Dulu jauh-jauh hari Sarjana Hukum
seperti, John Austin dan Jeremy Bentham sudah meragukan keabsahan dari Hukum
Internasional.
Salah satu persoalan yang paling klasik terhadap permasalah
internasional adalah konflik antara Negara Israel dan Negara Palestina. Suatu perjalan panjang yang berdarah menghiasi
sejarah awal mulanya konflik
Israel-Palestina. Sengketa yang dimulai dengan klaim teologis dari pihak
Israel, bahwa mereka “mendeklarasikan” tanah Palestina yang menurut mereka
merupakan sebuah Tanah yang dijanjikan, seperti yang temuat dalam Ayat-Ayat Perjanjian Lama. Dalam abad modern sekalipun,
ini membuktikan bahwa ajaran dogmatis agama masih cukup kuat dalam mempengaruhi
kebijakan politik setiap bangsa tertentu. Permasalahan semakin sulit ketika
Israel melakukan pembangunan pemukiman di wilayah-wilayah Bangsa Palestina yang
statusnya masih dalam pengawasan Internasional. Suatu bentuk pendudukan
ekspansi wilayah yang dilakukan oleh Israel dengan cara melakukan deportasi
penduduk lokal Bangsa Palestina.
Dalam Hukum Internasional ekspansi wilayah seperti ini tidak akui (illegal). Banyak cara-cara “tradisonal”
suatu Negara dapat memperoleh kedaulatan
atas suatu wilayah secara hukum internasional,
misalnya dengan cara okupasi (klaim terhadap wilayah tak bertuan),
aneksasi (agresi kasar), penambahan wilayah
(accretion), preskripsi (pengurusan wilayah negara lain secara
terus-menerus, tanpa protes dari pihak lain), dan penyerahan. Namun saat ini Hukum
Internasional melarang suatu Negara
memperoleh kedaulatan atas suatu wilayah, dengan cara melakukan aneksasi
(agresi kasar), karena bertentangan dengan charter PBB.
Pembanguan pemukiman illegal
di tanah Palestina secara terus menerus yang dilakukan oleh Israel hingga
sekarang, menimbulkan kebuntuan dalam
perjanjian perdamaian yang ingin dibuka oleh kedua belah pihak. Kecaman keras selalu datang dari dunia internasional, sebagai suara penentangan
terhadap hak-hak sipil manusia yang dilanggar .Menanggapi pelanggaran
kemanusiaan yang sering terjadi didaerah konflik tersebut, PBB telah banyak mengeluarkan
resolusi untuk mengkritisi berbagai tindakan Israel. Namun
pada akhirnya resolusi itu bagaikan “macan ompong”, karena sama sekali tidak
efektif untuk pencegahan pelanggaran yang dilakukan Israel. Kubu Washington berdiri dibelakang layar, mem back
up dengan cara melakukan veto terhadap mayoritas resolusi tersebut.
Suatu keanehan memang dalam konsep hak veto, setiap Negara yang
tergabung dalam Dewan Keaman Tetap PBB secara sepihak dapat mebatalkan resolusi yang telah dikeluarkan PBB. Konsep yang sangat tidak
demokratis dan tidak berkeadilan. Saat
inipun, dalam penindakan terhadap pelanggaran- pelanggaran kemanusiaan, kelemahan juga terlihat dalam yuridiksi Mahkamah Internasional. Tertulis
dalam Pasal 12 Ayat 2 Statuta Roma, Negara hanya bisa menerima yuridiksi
Mahkamah, apabila negara tersebut telah meratifikasi Statuta Roma .
Jelas Negara yang belum meratifikasi statuta tidak bisa
diadili oleh Mahkamah terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.
0 Response to "Sebuah Klaim dari Permasalahan Teologis Hingga Permasalahan Hukum Internasional"
Posting Komentar