Pendidikan Berbicara Ketulusan Hati




Ilustrasi Pendidkan memerlukan biaya yang sangat mahal
Ini adalah curahan hatiku yang kedua. Memang, jika kuungkapkan semuanya tidak akan pernah ada habis-habisnya. Semuanya tidak akan pernah cukup jika hanya dibalut dengan satu halaman terakhir di dalam Tabloid Justitia. Terlalu banyak kenaifan yang terjadi di sekelilingku. Terlalu banyak kekecewaan yang terjadi secara berulang-ulang, sehingga merembet, sampai pada junior-juniorku yang merasakannya kembali.
Pada awalnya aku sudah menceritakan, betapa tercampakannya moral pendidikanku. Kini cerita itu tidak hanya berhenti sampai disitu. Cerita itu, kini ingin aku rangkai kembali, ingin aku jadikan sebuah simpul, sehingga dapat menjelaskan kepada kalian bahwa kalian tinggal disini, tidak akan pernah bisa, jika hanya dengan mengandalkan mereka.
Cerita ini pada akhirnya akan berakhir bagus, setidaknya kalian akan mengerti maksudku, bahwa menjadi seorang sarjana yang sukses disini butuh perjuangan keras. Layaknya seseorang yang tersasar di dalam hutan belantara, ia hanya punya dua pilihan, bertahan hidup dari ancaman alam, atau ia akan mati menyerah dari keadaan.
Cerita ini aku mulai ketika mahasiswaku bercerita kembali tentang ketidaknyamanannya, saat bersanding lagi bersama mereka. Pendidikan ini dapat aku simpulkan, tidak lagi berbicara tentang ketulusan hati, ketika pendidikan itu disamakan dengan perdagangan atau bisnis. Sangat buruk, ketika nilai-nilai dari sebuah proses pembelajaran dihargai, sama dengan harga sebuah buku. “Gila bang, kita kaya dipaksa buat beli buku dia, soalnya jawaban uas kita katanya keluar dari buku dia semua”, cerita salah satu mahasiswaku.
Sebenarnya hal ini mengingatkan aku kembali, dulu pada suatu waktu, aku pernah mengalami hal yang sama seperti yang dialami salah satu mahasiswaku. Bahkan waktu itu aku pernah menyindir dengan bertanya. “Pak, yang membeli buku dapet (nilai) A ngga?”, ujarku. Lalu aku semakin heran ketika ia menjawab dengan fulgar, dan hal ini semakin menguatkan hipotesisku bahwa pendidikan bukanlah berbicara ketulusan. “Yaa, beda (nilainya) yang beli buku sama yang ngga beli..”, jawabnya dengan raut wajah serius.
Jika benar pendidikan bukan berbicara ketulusan hati, maka jangan salah ketika mahasiswaku mulai berpikir jernih, bahwa hasil dari proses pembelajaran bukanlah sesuatu yang objektif, tetapi subjektif. Ketika hasil dari proses pembelajaran itu didapatkan dengan cara instan, maka sebenarnya proses pembelajaran itu sendiri sudah tidak pernah ada di dalamnya.
Kembali aku bernostalgia tentang mereka. Hingga aku mengingat-mengingatnya kembali, dan sampai pada suatu waktu, saat salah satu mahasiswa seniorku bercerita tentang keunikan mereka. “Kalo kalian mau dapet nilai bagus sekelas, harus kasih (pakaian) batik ke dia”, ujarnya. Awalnya waktu itu, aku tidak pernah mempercayai ucapan salah satu mahasiswa seniorku itu. Hingga akhirnya aku yang membuktikannya sendiri bersama seluruh mahasiswa-mahasiswaku sekelas. Setelah pemberian batik itu, kami mendapatkan nilai yang rata sekelas.
Hal yang memang sepintas konyol dan tidak masuk akal ! Bagaimana mungkin kami mendapatkan nilai yang rata sekelas, padahal jawaban ujian kami hampir semuanya berbeda. Ini semua terlihat seperti permainan lotre, ketika kocokan mengeluarkan satu buah nama, maka dialah satu-satunya yang menjadi sang pemenang. Kita tidak pernah tahu, apakah kita akan berada di posisi pemenang itu atau bukan.             
Memang ketika berbicara tentang mereka, tidak akan pernah ada habisnya. Rangkaian cerita ini sengaja memang aku buat, agar mata kalian terbuka. Maaf, ini bukan berbicara tentang keburukan, tetapi lebih meyakini bahwa pendidikan harus dibangun dengan ketulusan hati. Ketulusan dapat memberikan dorongan, bahwa kami tidak sendirian dalam melangkah menuju kesuksesan. Dengan ketulusan mereka juga akan selalu merasakan, pendidikan ini mengantarkannya ke dalam kebahagiaan.       
                     


0 Response to "Pendidikan Berbicara Ketulusan Hati"

Posting Komentar