Masyarakat Papua melaksanakan pemilu dengan sistem noken |
A.
Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Noken
Ditinjau Berdasarkan Hak Budaya dan Masyarakat Adat
Di dalam Deklarasi Mexico
City tentang Kebijakan Budaya 1982, budaya didefinisikan sebagai perpaduan
menyeluruh dari berbagai fitur spiritual, intelektual, emosional yang
masing-masing memiliki karakter tersendiri yang membedakan suatu masyarakat
atau kelompok sosial termasuk di dalamnya (tidak hanya seni dan huruf, tetapi
juga cara-cara hidup, hak-hak asasi manusia, sistem nilai, tradisi, dan
kepercayaan).
Dengan melihat tiga putusan
MK, yakni Putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VII/2009, Putusan MK No.
14/PHPU.D-XI/2013, dan Putusan MK No. 1/PHPU.PRES-XII/2014, sistem noken telah mendapatkan
sandaran perlindungannya berdasarkan hak-hak budaya dan masyarakat adat yang
telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Dilihat dari Putusan MK No.
47-81/PHPU.A-VII/2009, Mahkamah sendiri menyatakan bahwa sistem noken merupakan
nilai-nilai budaya yang hidup di Papua dan perlu dilindungi.[1]
Di dalam halaman 46 (empat
puluh enam) Putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VII/2009 dijelaskan,
“….Menimbang
bahwa Mahkamah dapat memahami dan menghargai nilai budaya yang hidup di
kalangan masyarakat Papua yang khas dalam menyelenggarakan pemilu dengan cara
atau sistem kesepakatan warga atau aklamasi yang telah diterima masyarakat
Kabupaten Yahukimo tersebut, karena jika dipaksakan pemilu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dikhawatirkan akan timbul konflik di
antara kelompok-kelompok masyarakat setempat. Mahkamah berpendapat agar
sebaiknya mereka tidak dilibatkan/dibawa ke sistem persaingan/perpecahan di
dalam dan antar kelompok yang dapat mengganggu harmoni yang telah mereka
hayati.”[2]
Dengan melihat pertimbangan putusan diatas, Mahkamah
juga mengkhawatirkan jika pemilu di Papua tetap dilaksanakan sesuai dengan yang
diatur di dalam peraturan perundang-undangan
maka akan timbul perpecahan. Sehingga menimbulkan ketidak-harmonisan
yang ada pada Masyarakat Papua.
Timotius Murib dan Hasjim
Sengadji, dalam paparannya di Sidang Mahkamah Konstitusi juga mengamini bahwa
sistem noken merupakan praktik budaya yang hidup di Papua. Keduanya mendasarkan
argumentasi pada kenyataan bahwa sistem noken telah dilaksanakan sejak Pemilu
pertama kalinya di Papua, yaitu Pemilu Tahun 1971.
Di dalam Pertimbangan Putusan
MK No. 14/PHPU.D-XI/2013, Mahkamah Konstitusi juga memuat kesimpulan bahwa
sistem noken merupakan hak masyarakat adat yang perlu dilindungi.
“…..mekanisme
pemungutan suara berdasarkan kesepakatan masyarakat tersebut didasarkan pada
hukum adat yang berlaku di daerah setempat dan tidak diatur di dalam
undang-undang in casu Undang-Undang
Pemilu dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Selain itu meskipun mekanisme
pemungutan suara dengan cara kesepakatan masyarakat tidak diatur di dalam
secara eksplisit di dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemerintahan
Daerah, namun konstitusi memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat
dan hak-hak tradisionalnya yang diatur di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI
1945….”[3]
Terkait pertimbangan diatas,
Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa konsitusi memberikan
pengakuan dan perlindungan terhadap sistem noken. Sistem noken dipandang
sebagai hak masyarakat adat dan tradisional lainnya yang diatur di dalam Pasal
18B Ayat (2) UUD NRI 1945. Di dalam Pasal 18B Ayat (2) dijelaskan :
“Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur di dalam
undang-undang”
Pasal
18B Ayat (2) UUD NRI 1945 merupakan salah satu landasan konstitusional yang
berbentuk pengakuan secara deklaratif. Pengakuan tersebut menghendaki negara
mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Namun
pengakuan tersebut juga memiliki batasan dan persyaratan, antara lain : (a)
sepanjang masih hidup; (b) sesuai dengan perkembangan masyarakat; (c) prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia; (d) Diatur di dalam undang-undang.[4]
Rikardo Simarmata menyatakan model pengakuan bersyarat tersebut merupakan model
yang diwariskan oleh Pemerintahan Kolonial.[5]
Mengenai persyaratan (d), yang
menyatakan “diatur di dalam undang-undang”, secara gramatikal berarti untuk
menjalankan pasal 18B Ayat (2) tidaklah harus diatur di dalam Undang-Undang
tersendiri. Makna “diatur di dalam undang-undang” berbeda dengan makna “diatur
dengan undang-undang” yang mengharuskan adanya undang-undang yang mengaturnya
secara khusus.[6]
Sistem noken memang tidak
diatur di dalam UU Pemilu dan UU Pemerintahan Daerah. Mekanisme sistem ini berbeda dengan yang
diterapkan di daerah lain. Terkait dengan menkanisme yang berbeda, UNESCO
menyatakan di dalam laporannya, terkadang memang keanekaragaman budaya akan menimbulkan
suatu masalah ketika dihadapkan pada aturan-aturan sosial yang berbeda. Negara
akan bingung dalam menyikapi persoalan tersebut.[7]
Dalam paparan yang berbeda
von Savigny menambahkan, seharusnya hukum tidak lahir dari sebuah tindakan
bebas, yang disebutnya dengan istilah arbitrary
of a legislator. Namun hukum semestinya dibangun dan dapat ditemukan di
dalam jiwa masyarakat. Dari pendapat Savigny dapat diambil sebuah kesimpulan
bahwa hukum seharusnya berasal dari kebiasaan atau budaya masyarakat.[8]
Terhadap perlindungan hak
budaya dan masyarakat adat sebenarnya konstitusi juga mengaturnya di dalam
Pasal 28I Ayat (3)[9].
“Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembang zaman
dan peradaban”
Perlindungan terhadap hak budaya dan
masyarakat adat ini, telah mendapatkan pengaturan secara tegas juga di dalam
Konvensi Ekosob. Pada Tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi konvensi ini
dengan dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvenan Hak-Hak
Sipil dan Politik [10].
Konsekuensinya hampir setiap tahunnya, Indonesia akan dituntut dan diawasi
untuk memberikan perlindungan yang maksimal terhadap nilai-nilai budaya,
termasuk sistem noken tersebut.[11]
Di dalam Pasal 15 Konvensi Ekonomi, Sosial, dan Budaya dinyatakan :
Negara-negara Pihak pada Konvenan ini
mengakui hak setiap orang :
a)
Untuk
berpartisipasi dalam kehidupan budaya;
b)
Untuk
menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan
dan
penerapannya;
c)
Untuk memperoleh manfaat dari perlindungan
atas
kepentingan moral dan material yang timbul
dari karya ilmiah,
sastra, atau seni yang telah diciptakannya.
Hingga saat ini Konvensi Ekosob termasuk
sebagai konvensi dengan jumlah besar negara yang meratifikasinya, sehingga
dapat dikatakan konvensi tersebut memiliki kedudukan menjadi bagian dari
kebiasaan internasional. Mengikat setiap negara-negara tanpa melalui
ratifikasi. Namun terlepas dari hal tersebut, yang terpenting konvensi itu
telah menjadi bagian hukum nasional Indonesia.[12]
Terkait dengan hak-hak
masyarakat hukum adat, Juned berpendapat bahwa mereka seharusnya memiliki
beberapa hak, yakni :
1. Menjalankan
pemerintahan sendiri;
2. Menguasai
dan mengelola sumber daya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan
warganya;
3. Bertindak
kedalam dan mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya. Ke luar bertindak
atas nama persekutuan sebagai badan hukum;
4. Hak
ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya;
5. Hak
membentuk adat;
6. Hak
menyelenggarakan sejenis peradilan.
Pada kasus noken, dapat
dipahami bahwa Masyarakat Papua memiliki hak untuk tetap melaksanakan dan melestarikan
sistem tersebut. Hal ini didasarkan pada pendapat yang telah dijabarkan oleh
Juned. Pelaksanaan sistem noken dapat dipahami sebagai pengertian yang lebih luas
daripada hak Masyarakat Papua untuk menjalankan pemerintahannya sendiri serta
dalam rangka membentuk suatu adat tertentu.
Berbagai upaya untuk
melindungi keanekaragaman budaya dan adat memang telah menjadi demikian penting
bagi pemerintahan nasional dan juga masyarakat internasional. Dalam beragam
bidang budaya (seperti warisan budaya benda, warisan budaya tak benda, ekspresi
budaya, pertukaran budaya, dan perdagangan benda budaya secara illegal),
berbagai kesepakatan dan peraturan/ acuan di tingkat regional dan internasional
telah disusun guna melindungi dan mempromosikan pemahaman kunci mengenai
keanekaragaman budaya tersebut.
B.
Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Noken
Ditinjau Berdasarkan Hak Politik Warga Negara
Banyak pihak yang
menyayangkan bahwa mekanisme pelaksanaan noken dilakukan dengan cara ditentukan
secara bersama-sama terlebih dahulu sebelum dicoblos. Salah satu pihak yang
berkeberatan terhadap hal tersebut adalah Komisioner HAM, Natalius Pigai.
Natalius menyatakan bahwa pemilu menggunakan
sistem noken berpotensi melanggar HAM. Seharusnya pemilu di Papua dilaksanakan
secara individual bukan dilaksanakan secara komunal. Hal ini didasarkan pada
argumentasi bahwa pada kenyataannya kebanyakan Masyarakat Papua sendiri
bersifat egaliter dan demokratis[13].
Sehingga hak pilih politik Rakyat Papua dapat terabaikan dengan adanya
pelaksanaan sistem noken tersebut[14].
UUD NRI 1945 sendiri memang
tidak tegas menyebutkan secara langsung bahwa setiap warga negara memiliki hak
pilih langsung untuk menentukan atau memilih calonnya. Tidak ada satu pasalpun
yang menuliskan nomenklatur secara jelas yang mengatur mengenai hak pilih
rakyat secara langsung ini.
Namun ada beberapa Pasal di
dalam UUD NRI 1945 yang secara impilisit memberikan perlindungannya terhadap
hak politik ini (hak pilih). Misalnya dalam Pasal 28D Ayat (3) dinyatakan :
“Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”
Kemudian
di dalam pasal yang lain, Pasal 28E Ayat (2) juga dinyatakan:
“Setiap orang berhak
untuk meyakini kepercayaan, meyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati
nuraninya”
Di dalam Pasal 28E Ayat (3) juga dinyatakan :
“Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”
Ketiga pasal diatas
merupakan jaminan terhadap hak politik bagi setiap warga negara dan penduduk. Hal
tersebut secara tidak langsung memberikan perlindungannya terhadap hak pilih
yang dimiliki setiap warga negara dalam pemilu.
Jimly Asshiddiqie menyatakan
untuk jaminan hak politik yang diatur di dalam Pasal 28D Ayat (3) tersebut sebenarnya
telah masuk ke dalam kelompok HAM yang berlaku sebagai hak konstiusional warga
negara. Sedangkan untuk Pasal 28E Ayat (2) dan (3), ia menggolongkan hak yang
diatur di dalam pasal tersebut sebagai hak yang berlaku bagi setiap orang
(penduduk), khususnya terhadap Warga Negara Indonesia dengan berlaku
keutamaan-keutamaan tertentu.[15]Argumentasi
Jimly tersebut diperkuat dengan pendapat Mahfud MD yang juga menggolongkan hak
memilih ini ke dalam kelompok hak asasi politik (political right).[16]
Di dalam Peraturan
Perundang-undangan Indonesia, hak pilih langsung dapat ditemukan pengaturannya
di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM.[17]
Di dalam Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 dijelaskan,
“Setiap
warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan
persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dengan melihat pengaturan
diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap hak pilih yang dimiliki oleh setiap
warga negara, selalu dibingkai oleh pelaksanaan pemungutan suara dalam pemilu secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Mengenai hal ini, diperkuat juga dengan
adanya bunyi Pasal 25 konvensi Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik
(ICCPR) yang menyatakan :
Setiap warga negara
harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk :
1)
Ikut
serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara
langusng,
ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara
bebas;
2)
Memilih
dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang
murni,
dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta
dilakukan
melalui pemungutan suara secara rahasia untuk
menjamin
kebebasan menyatakan keinginan dari pemilih;
3)
Memperoleh
akses pada pelayanan umum di negaranya atas
dasar
persamaan dalam arti umum.
Pada point kedua disebutkan
bahwa memilih dalam pemilu berkala dilakukan dengan melalui pemungutan suara
secara rahasia. Pemungutan suara secara rahasia hanya dapat dilakukan jika
pemungutan suara dilakukan dengan cara pemilih menggunakan hak pilihnya secara
langsung (one man one vote).
Dengan diaturnya pasal
tersebut telah membuat Indonesia memiliki konsekuensi dalam penerapannya. Indonesia
telah meratifikasi Konvensi Tentang Hak Sipil dan Politik pada Tanggal 31
September 2005. Dengan demikian Indonesia sebenarnya telah mengikatkan diri
untuk mematuhi segala hak yang daitur di dalam konvensi.[18]
Hak pilih yang dilindungi oleh Konvensi ini sepenuhnya harus diakomodir oleh
Indonesia sebagai negara peserta konvensi.
Prinsip HAM universal juga
menyebutkan bahwa negara wajib menjamin hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Karenanya setiap negara diminta untuk
menerbitkan peraturan perundang-undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk
memastikan setiap warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan apapun memperoleh
kesempatan yang efektif menikmati hak ini.[19]
Hal ini pada pokoknya,
menjamin setiap warga negara untuk secara bebas (freely) turut serta dalam urusan publik dengan memilih
wakil-wakilnya yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif. Dyah Permata
Budi Sari menyatakan, hak ini juga erat kaitannya dengan hak lain yang tidak
dapat dipisahkan yaitu kebebasan berekspresi (freedom of expression), berserikat (assembly), dan berkumpul (association).
Hak memberikan suara atau
memilih merupakan hak dasar (basic right)
setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara.
Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan di dalam UUD NRI 1945 maupun UU No.
39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvenan
Hak-Hak Sipil dan Politik.[20]
Pengunaan hak pilih oleh
warga negara dalam pemilu juga bersifat subjektif. Penggunaannya tidak boleh
diintervensi siapapun, baik oleh negara maupun kepala suku.[21]
Namun pada praktiknya, di dalam sistem noken penggunaan hak pilih ini telah
terkikis dengan cara sedemikian rupa. Hak pilih Masyarakat Papua tidak
dilaksanakan secara langsung, karena pilihan terhadap calon dilakukan dengan
cara musyawarah seluruh Warga Suku terlebih dahulu. Lalu kepala suku memiliki
otoritas penuh dalam menentukan hasil musyawarah dari warganya.[22]
Padahal hakikat dari hak
pilih ini adalah adanya kebebasan dari setiap pemilih untuk menentukan calon,
serta tidak boleh adanya intervensi dari pihak manapun untuk mempengaruhi hasil
pilihan politik pemilih. Sedangkan dalam kasus noken di Papua, kepala suku
memiliki kewenangan / otoritas yang kuat dalam menentukan pilihan calon
kandidat dalam pemilu. Dengan demikian dapat dikatakan sistem noken telah
mengikis dari keberadaan hak politik dari setiap warga negara yang ada di
Papua.[23]
C.
Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Noken
Ditinjau Berdasarkan Asas Pemilu “Luber dan Jurdil”
Mekanisme
pelaksanaan pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan Asas “Luber dan Jurdil”.
Asas tersebut merupakan kepanjangan dari kata langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Terkait asas tersebut, konstitusi telah memberikan
perlindungannya. Di dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945 dijelaskan :
“ Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”
Pengaturan
asas luber dan jurdil juga terdapat dalam pengertian pemilu yang termuat di
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD. Di dalam Pasal 1 UU tersebut dijelaskan :
“Pemilihan umum, selanjutnya disebut pemilu
adalah saranan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945”
Memang
di dalam pengaturan diatas tidak disebutkan secara tegas bahwa asas pemilu
adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun di dalam
Penjelasan UU No. 8 Tahun 2012, dinyatakan bahwa sesuai dengan Pasal 22E UUD
NRI 1945, pemilu Anggota Legislatif diselenggarakan berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Adapun tujuan dari diselenggarakannya
pemilu berdasarkan asas luber dan jurdil adalah guna mewujudkan wakil rakyat
yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif
secara optimal.[24]
Di
dalam Penjelasan UU No. 8 Tahun 2012 juga dimuat secara singkat mengenai
penjelasan masing-masing asas. Asas langsung berarti rakyat sebagai pemilih
memiliki hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak
hati nuraninya, tanpa perantara. Kemudian pemilihan yang bersifat umum adalah
memiliki makna bahwa pemilu harus menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh
bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras,
golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.[25]
Asas
bebas, berarti setiap warga negara berhak memilih bebas dalam menentukan
pilihannya, tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Oleh karena terkait dengan
kebebasan yang dimiliki setiap warga negara dalam pemilu, negara harus terlibat
untuk menjamin keamanannya. Sedangkan asas rahasia memiliki arti bahwa dalam
memberikan suaranya, pemilih dijamin pilihan suaranya tidak akan diketahui oleh
pihak manapun. Sehingga kerahasiaan pilihan dari pemilih akan terlindungi.[26]
Asas
jujur dan adil mengandung arti bahwa semua pihak yang terkait dengan pemilu
harus bertindak jujur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
serta pemilih harus mendapatkan perlakuan yang adil dan terbebas dari
kecurangan pihak manapun. Jadi undang-undang telah memberikan perlindungan
secara maksimal bagi seluruh pihak agar penyelenggaraan pemilu ini berjalan
secara demokratis dan berkualitas.[27]
Keseluruhan
asas luber jurdil tersebut jika dikaitan dengan sistem noken, maka dapat dilihat
pertentangannya. Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengungkapkan bahwa
sistem noken sebenarnya telah merusak asas-asas pemilu. Pigai tidak merinci
secara jelas asas mana yang telah dirusak oleh sistem noken. Oleh karena itu
penulis disini akan menganalisis jika sistem noken ditinjau berdasarkan
asas-asas pemilu Luber dan Jurdil.
Pertama,
jika ditinjau berdasarkan asas langsung, tentu sistem noken sangat bertentangan
dengan asas tersebut . Dalam praktiknya,
sistem noken dilaksanakan dengan mekanisme yang berbeda, tidak seperti
yang diatur di dalam undang-undang.[28]
Hal ini diperkuat dengan peryataan Sengadji dalam persidangan PHPU Presiden dan
Wakil Presiden 2014. Ia menyatakan bahwa noken dilaksanakan dengan dua
mekanisme. Mekanisme pertama, seluruh masyarakat di sekitar TPS dikumpulkan
serta diminta sejumlah surat suara tertentu lalu surat-surat suara tersebut
dimasukkan ke dalam kantung-kantung yang tersedia. Cara kedua, melalui sistem
ikat, yaitu jumlah suara langsung dibagikan kepada salah satu partai/pasangan calon/calon.
Baik
melalui cara pertama maupun cara kedua, pemilih tidak langsung mencoblos surat
suara dan memasukkannya ke dalam kotak suara. Hal ini jelas sangat bertentangan
dengan asas langsung di dalam pemilu, karena asas tersebut menghendaki para pemilih
datang secara langsung ke TPS dan mencoblos surat suaranya masing-masing, tanpa
perantara.
Kedua,
sistem noken ditinjau berdasarkan asas umum, maka tidak terdapat
pertentangannya terhadap asas tersebut. Asas umum menghendaki setiap pemilih
memiliki kesempatan guna dapat berpartisipasi dalam pemilu. Partisipasi
tersebut dilaksanakan tanpa adanya diskriminasi suku, agama, ras, jenis
kelamin, dan lain-lain. Dalam pelaksanaan sistem noken sebenarnya tidak terjadi
tindakan-tindakan diskriminasi terhadap pemilih. Yang terpenting dalam sistem
itu adalah seluruh pemilih mentaati kesepakatan pilihan yang telah dibuat saat
musyawarah dengan kepala suku.
Ketiga,
jika sistem noken ditinjau berdasarkan asas bebas pemilu, maka keduanya dapat
dikatakan saling bertentangan. Pada pelaksanaan sistem noken, musyawarah serta
keputusan kepala suku selalu dijadikan ukuran dalam menentukan pilihan calon. Hal
ini diperkuat dengan pernyataan Ketua MRP, Timotius Murib sebagai berikut :
“Adapun mekanisme untuk pengambilan keputusan
melalui sistem noken dan/atau sistem ikat tersebut diatas dapat berdasarkan
hasil musyawarah bersama atau berdasarkan keputusan otoritas kepala suku yang
sekaligus merupakan representasi politik dari masyarakatnya”[29]
Dari
ungkapan Timotius tersebut, dapat dipahami bahwa peran kepala suku berpengaruh
besar dalam pilihan para masyarakat yang menggunakan noken. Padahal yang
dimaksud dengan asas bebas disini adalah para pemilih memiliki kebebasan tanpa
tekanan dan paksaan dari siapapun, bahkan negara ataupun kepala suku sekalipun
tidak diperbolehkan untuk mengintervensi pilihan dari pemilih.
Keempat,
jika sistem noken ditinjau berdasarkan asas
rahasia, maka secara jelas terlihat asas ini telah dilanggar. Noken
dilaksanakan berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan oleh kepala suku dan
masyarakat. Dari hasil tersebut maka
akan diperoleh kesepakatan pilihan, kalaupun tidak, pilihan dapat diserahkan
sepenuhnya kepada kepala suku. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya sistem ini
tidak mengandung asas kerahasiaan sama sekali. Seluruh masyarakat telah tahu pilihan
politiknya yang harus jatuh kepada siapa, karena pilihannya bersifat homogen.
Kelima,
pelaksanaan sistem noken jika ditinjau berdasarkan asas jujur dan adil, dapat
dikatakan tidak ada yang bertentangan sama sekali. Sepanjang seluruh penyelenggara pemilu dan
pihak terkait bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka
asas jujur ini tidak terlanggar. Pelaksanaan teknis sistem noken diatur di
dalam SK KPU yang dikeluarkan oleh KPU Provinsi Papua. Jadi ketika terdapat pelanggaran, baru asas
ini akan terlanggar. Untuk asas adil juga sama, sepanjang pemilih diperlakukan
dengan adil dan terbebas dari kecurangan dari pihak manapun, maka asas ini
tidak terlanggar. Pelanggaran terhadap asas ini akan dibuktikan di dalam
pengadilan.
Dengan
melihat analisa diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa asas pemilu
yang telah terlanggar dalam pelaksanaan sistem noken. Asas yang telah dilanggar
tersebut, diantaranya adalah asas langsung, bebas, dan rahasia. Sedangkan untuk
asas umum, jujur, dan adil jika dilaksanakan secara benar, maka asas ini tidak
terlanggar dalam pelaksanaan sistem noken.
[1] Mekanisme
pelaksanaan noken secara praktis telah dijelaskan oleh Timotius Murib dalam
Sidang PHPU Gubernur Papua Tahun 2013. Timotius Murib, menjelaskan bahwa noken
dilaksanakan dengan dua cara (variasi). Cara pertama dilakukan dengan
bermusyawarah terlebih dahulu bersama seluruh warga masyarakat atau hanya
sebagian melalui perwakilan. Musyawarah
dipimpin oleh Kepala Suku atau Adat untuk menentukan calon yang akan dipilih di
dalam Pemilu. Jadi hanya terdapat satu calon terpilih yang akan dicontreng atau
ditusuk untuk dimasukkan ke dalam noken-noken (kantung) yang telah tersedia.
Cara kedua yaitu dengan memberikan kewenangan sepenuhnya dalam memilih calon
kepada Kepala Suku atau Adat, walaupun tidak dengan dilakukan musyawarah
terlebih dahulu. Menurut Timotius Murib hal ini sah-sah saja bagi masyarakat
Papua Pegunungan Tengah.
Sedangkan
Hasjim Sengadji, Saksi KPU pada Sidang PHPU Pilpres 2014, menyatakan
pengambilan keputusan pilihan dalam noken melalui 2 (dua) cara. Cara pertama
yaitu dengan mengumpulkan seluruh anggota masyarakat yang memiliki hak pilih,
kemudian tokoh masyarakat (kepala suku) meminta surat suara mereka dan
memasukannya ke dalam noken, dengan catatan pilihan telah ditentukan oleh
kepala suku tersebut. Cara kedua yaitu melalui sistem ikat. Jumlah seluruh
pemilih di dalam suatu tempat atau kampung tertentu langsung dibagikan kepada
partai/calon/pasangan calon. Lihat secara lengkap di dalam Putusan MK No.
14/PHPU.D-XI/2013. Gugatan PHPU diajukan oleh DR. Habel Suwae, S.Sos., M.M. dan
Ev. Yop Kogoya, Dip.Th.,MM. (Pasangan Calon Nomor Urut 6 Pemilukada Papua 2013)
[2] Putusan MK Nomor
47-81/PHPU.A-VII/2009, h. 46
[3] Putusan MK No.
14/PHPU.D-XI/2013, h. 194
[4] Kurniawan Wawan, Peta Perundang-undangan Tentang Pengakuan
Hak Masyarakat Hukum Adat, h.3
[5] Op.Cit., Simarmata, 2006
[6] Ibid.
[7] Laporan Dunia UNESCO, Berinvestasi dalam Keanekaragaman Budaya dan
Dialog Antar Budaya : Ringkasan Eksekutif, h. 3
[8] M.D.A. Freeman, Llyod’s Introduction to Jurisprudence,
Edition VII, (London : Sweet and Maxwell Ltd), h. 904-905
[9] Di dalam Pasal ini, menurut
Kurnia Warman memberikan persyaratan yang lebih sedikit dan tidak rigid. Lihat
Kurnia Warman, Peta Perundang-undangan
Tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat, h. 4
[10] Seperti diketahui Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Tentang Hak Ekosob pada Bulan Oktober 2005. Oleh karena
itu, Indonesia dituntut untuk memberikan laporan mereka terhadap kemajuan dan
pemenuhan hak-hak yang dimuat di dalam konvensi. Laporan tersebut diserahkan
secara bertahap kepada Sekretaris Jenderal PBB. Laporan tersebut diserahkan
secara bertahap kepada Sekretaris Jenderal PBB. Kemudian laporan tersebut akan
disalin untuk disampaikan kepada Dewan Ekonomi Sosial. Lihat Ifdhal Kasim, Implementasi Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya : Kerangka Normatif dan Standar Internasional, dalam sebuah makalah
yang disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional tentang “Menuju Perlindungan dan Pemantauan yang
efektif Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya di Indonesia” yang
diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights
(NCHR), di Yogyakarta 16 April 2007, h. 2. dan Article 16 Convenan on Economic, Social, and Cultural (CESC).
[11] Biasanya Organisasi-organisasi non pemerintah
(NGO), seperti Amnesty Internasional akan ikut mengumpulkan informasi terkait
pemenuhan hak-hak yang ada dalam
konvensi. Lihat Lihat Amnesty Internasional, Indonesia : Komite Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya Menanyakan Hak-Hak Tersebut kepada Pemerintah,
dalam Pernyataan Publik Tanggal 21 Januari 2014, h. 1
[12] Lihat Lois B. Sohn, International Protection of Human Rights,
(New York : Oxford University Press, 1973), h. 23 dan Ian Browlie, Principle of Public International Law,
(New York : Oxford University Press, 1990), h. 123
[13] Melkior N.N. Sitokdana, Kontroversi Peran Bigman dalam Pemilihan
Sistem Noken di Papua, dalam www.komapo.go.id. Menurut Pigai, dari 237 suku
yang ada di Papua hanya satu suku yang menggunakan sistem feodalisme, yakni
Suku Dani.
[14]Pelanggaran HAM yang dimaksud
Pigai diatas belum jelas, apakah hak pilih atau hak lainnya. Namun disini
penulis berpendapat bahwa sistem noken berpotensi melanggar hak pilih yang
dimiliki oleh setiap warga negara.
[15] Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis,
(Jakarta : Bhuana Ilmu Populer (BIP), 2009) h. 443
[16] Moh. Mahfud MD, Dasar
dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), h.
127
[17] Sejalan dengan
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Konvensi ILO Nomor 169 juga mengatur mengenai
perlindungan praktik-praktik sosial yang terjadi di dalam masyarakat adat. Di
dalam Pasal 5 Konvensi ILO Nomor 169 dinyatakan,
Dalam menerapkan
ketentuan-ketentuan konvensi ini :
(a)
Nilai-nilai
dan praktik sosial, budaya, dan agama, dan spiritual (rohani) masyarakat hukum
adat ini diakui dan dilindungi, dan hakikat dari masalah-masalah yang mereka
hadapi baik sebagai kelompok maupun sebagai individu diperhatikan sebagaimana
seharusnya;
(b)
Keutuhan
dari nilai-nilai, praktik-praktik dan institusi-institusi dari masyarakat adat
ini dihormati;
(c)
Diterapkan
kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi kesulitan-kesulitan yang
dialami oleh masyarakat hukum adat ini dalam menghadapi kondisi-kondisi baru
dalam kehidupan dan pekerjaan, dengan partisipasi dan kerjasama dari masyarakat
hukum adat yang mengalami kondisi-kondisi baru tersebut.”
[18]Ignatius Haryanto, dkk., Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik
: Panduan Bagi Jurnalis, (Jakarta : Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan, 2000), h.45. Lihat juga Tataq Chidmad, Kritik terhadap Pemilu Langsung,
(Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2004), h. 57
[19] Negara Wajib Melindungi Terhadap Hak untuk Memilih dalam Pemilu,
dalam Situs YBHI, diakses pada Tanggal 9 September 2015, Pukul 08.30 WIB
[20] Dyah Permata Budi Sari, Pemenuhan Hak Asasi Manusia terhadap Hak
untuk Memilih dan Tidak Memilih (Golput) dalam Pemilu 2009, di dalam Jurnal
Konstitusi PK2P FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Vol. II No. 1, Juni
2009, h. 8
[21] Dyah Permata Budi Sari, Pemenuhan Hak Asasi Manusia terhadap Hak
untuk Memilih dan Tidak Memilih (Golput) dalam Pemilu 2009, di dalam Jurnal
Konstitusi PK2P FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Vol. II No. 1, Juni
2009, h. 8
[22] Pada
kasus Pilpres 2014, dalam persidangan PHPU, Hasjim Sengadji menyatakan :
“….Penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara
tidak seragam untuk masing-masing kabupaten di daerah pegunungan. Pemilihan
dilakukan atas dasar kesepakatan bersama sekelompok orang yang dipimpin oleh
tokoh masyarakat/kepala suku. Ada beberapa cara pengambilan keputusan yang
secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut : (1) mengumpulkan
sejumlah anggota masyarakat pemilih di sekitar area TPS, kemudian tokoh
masyarakat/kepala suku meminta surat suara sejumlah pemilih tertentu dan surat
suara itu dimasukkan ke dalam noken untuk diberikan kepada
partai/calon/pasangan calon; (2) menggunakan hak pilihnya dengan sistem ikat,
yaitu jumlah pemilih di suatu tempat/kampung tertentu langsung dibagikan kepada
partai/pasangan calon/calon….”. Lihat Putusan MK No. No. 1/PHPU.PRES-XII/2014
[23] Pada kasus
noken, kepala suku memiliki kewenangan penuh dalam menentukan pilihan, ataupun
dapat dikatakan memiliki pengaruh yang begitu kuat untuk menentukan calon. Hal
ini dikarenakan di dalam sistem pemerintahan adat Papua dikenal dengan Sistem
Kepemimpinan “Pria Berwibawa” atau “The Bigman”. Oleh karena itu hak pilih
warga masyarakat Pegunungan Tengah Papua, banyak dipengaruhi oleh kepala suku.
Maka wajar jika salah satu calon mendapatkan 100 (seratus) % suara.
[24] Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Anggota DPR,DPD, dan DPRD, h. 2
[25] Ibid.
[26] Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Anggota DPR,DPD, dan DPRD, h. 2
[27] Ibid.
[28] Pasal 154 UU No. 8 Tahun 2012
Tentang Pemilihan Anggota DPR,DPD, dan DPRD. Dinyatakan di dalam pasal tersebut
: “Pemberian suara untuk Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan DPRD
kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda
pada gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara.”
[29] Risalah Sidang PHPU Perkara
Nomor 14/PHPU.D-XI/2013, h.5 (Selasa, 5 Maret 2013)
0 Response to "Persinggungan Budaya dan Politik dalam Praktik Pelaksanaan Sistem Noken di Papua"
Posting Komentar