Persinggungan Budaya dan Politik dalam Praktik Pelaksanaan Sistem Noken di Papua

Masyarakat Papua melaksanakan pemilu dengan sistem noken


A.         Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Noken Ditinjau Berdasarkan Hak Budaya dan Masyarakat Adat

Di dalam Deklarasi Mexico City tentang Kebijakan Budaya 1982, budaya didefinisikan sebagai perpaduan menyeluruh dari berbagai fitur spiritual, intelektual, emosional yang masing-masing memiliki karakter tersendiri yang membedakan suatu masyarakat atau kelompok sosial termasuk di dalamnya (tidak hanya seni dan huruf, tetapi juga cara-cara hidup, hak-hak asasi manusia, sistem nilai, tradisi, dan kepercayaan).
Dengan melihat tiga putusan MK, yakni Putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VII/2009, Putusan MK No. 14/PHPU.D-XI/2013, dan Putusan MK No. 1/PHPU.PRES-XII/2014, sistem noken telah mendapatkan sandaran perlindungannya berdasarkan hak-hak budaya dan masyarakat adat yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Dilihat dari Putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VII/2009, Mahkamah sendiri menyatakan bahwa sistem noken merupakan nilai-nilai budaya yang hidup di Papua dan perlu dilindungi.[1]
Di dalam halaman 46 (empat puluh enam) Putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VII/2009 dijelaskan,
“….Menimbang bahwa Mahkamah dapat memahami dan menghargai nilai budaya yang hidup di kalangan masyarakat Papua yang khas dalam menyelenggarakan pemilu dengan cara atau sistem kesepakatan warga atau aklamasi yang telah diterima masyarakat Kabupaten Yahukimo tersebut, karena jika dipaksakan pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikhawatirkan akan timbul konflik di antara kelompok-kelompok masyarakat setempat. Mahkamah berpendapat agar sebaiknya mereka tidak dilibatkan/dibawa ke sistem persaingan/perpecahan di dalam dan antar kelompok yang dapat mengganggu harmoni yang telah mereka hayati.”[2]  

Dengan melihat pertimbangan putusan diatas, Mahkamah juga mengkhawatirkan jika pemilu di Papua tetap dilaksanakan sesuai dengan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan  maka akan timbul perpecahan. Sehingga menimbulkan ketidak-harmonisan yang ada pada Masyarakat Papua. 
Timotius Murib dan Hasjim Sengadji, dalam paparannya di Sidang Mahkamah Konstitusi juga mengamini bahwa sistem noken merupakan praktik budaya yang hidup di Papua. Keduanya mendasarkan argumentasi pada kenyataan bahwa sistem noken telah dilaksanakan sejak Pemilu pertama kalinya di Papua, yaitu Pemilu Tahun 1971.
Di dalam Pertimbangan Putusan MK No. 14/PHPU.D-XI/2013, Mahkamah Konstitusi juga memuat kesimpulan bahwa sistem noken merupakan hak masyarakat adat yang perlu dilindungi.

“…..mekanisme pemungutan suara berdasarkan kesepakatan masyarakat tersebut didasarkan pada hukum adat yang berlaku di daerah setempat dan tidak diatur di dalam undang-undang in casu Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Selain itu meskipun mekanisme pemungutan suara dengan cara kesepakatan masyarakat tidak diatur di dalam secara eksplisit di dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, namun konstitusi memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya yang diatur di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945….”[3]  

Terkait pertimbangan diatas, Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa konsitusi memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap sistem noken. Sistem noken dipandang sebagai hak masyarakat adat dan tradisional lainnya yang diatur di dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI 1945. Di dalam Pasal 18B Ayat (2) dijelaskan :   

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur di dalam undang-undang”

Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI 1945 merupakan salah satu landasan konstitusional yang berbentuk pengakuan secara deklaratif. Pengakuan tersebut menghendaki negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Namun pengakuan tersebut juga memiliki batasan dan persyaratan, antara lain : (a) sepanjang masih hidup; (b) sesuai dengan perkembangan masyarakat; (c) prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; (d) Diatur di dalam undang-undang.[4] Rikardo Simarmata menyatakan model pengakuan bersyarat tersebut merupakan model yang diwariskan oleh Pemerintahan Kolonial.[5]
Mengenai persyaratan (d), yang menyatakan “diatur di dalam undang-undang”, secara gramatikal berarti untuk menjalankan pasal 18B Ayat (2) tidaklah harus diatur di dalam Undang-Undang tersendiri. Makna “diatur di dalam undang-undang” berbeda dengan makna “diatur dengan undang-undang” yang mengharuskan adanya undang-undang yang mengaturnya secara khusus.[6]
Sistem noken memang tidak diatur di dalam UU Pemilu dan UU Pemerintahan Daerah.  Mekanisme sistem ini berbeda dengan yang diterapkan di daerah lain. Terkait dengan menkanisme yang berbeda, UNESCO menyatakan di dalam laporannya, terkadang memang keanekaragaman budaya akan menimbulkan suatu masalah ketika dihadapkan pada aturan-aturan sosial yang berbeda. Negara akan bingung dalam menyikapi persoalan tersebut.[7]
Dalam paparan yang berbeda von Savigny menambahkan, seharusnya hukum tidak lahir dari sebuah tindakan bebas, yang disebutnya dengan istilah arbitrary of a legislator. Namun hukum semestinya dibangun dan dapat ditemukan di dalam jiwa masyarakat. Dari pendapat Savigny dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa hukum seharusnya berasal dari kebiasaan atau budaya masyarakat.[8]
Terhadap perlindungan hak budaya dan masyarakat adat sebenarnya konstitusi juga mengaturnya di dalam Pasal 28I Ayat (3)[9].
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembang zaman dan peradaban”

Perlindungan terhadap hak budaya dan masyarakat adat ini, telah mendapatkan pengaturan secara tegas juga di dalam Konvensi Ekosob. Pada Tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dengan dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik [10]. Konsekuensinya hampir setiap tahunnya, Indonesia akan dituntut dan diawasi untuk memberikan perlindungan yang maksimal terhadap nilai-nilai budaya, termasuk sistem noken tersebut.[11] Di dalam Pasal 15 Konvensi Ekonomi, Sosial, dan Budaya dinyatakan :
Negara-negara Pihak pada Konvenan ini mengakui hak setiap orang :
a)       Untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya;
b)       Untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan
dan penerapannya;
c)       Untuk memperoleh manfaat dari perlindungan atas  
 kepentingan moral dan material yang timbul dari karya ilmiah,  
 sastra, atau seni yang telah diciptakannya.
 
Hingga saat ini Konvensi Ekosob termasuk sebagai konvensi dengan jumlah besar negara yang meratifikasinya, sehingga dapat dikatakan konvensi tersebut memiliki kedudukan menjadi bagian dari kebiasaan internasional. Mengikat setiap negara-negara tanpa melalui ratifikasi. Namun terlepas dari hal tersebut, yang terpenting konvensi itu telah menjadi bagian hukum nasional Indonesia.[12]
Terkait dengan hak-hak masyarakat hukum adat, Juned berpendapat bahwa mereka seharusnya memiliki beberapa hak, yakni :  
1.   Menjalankan pemerintahan sendiri;
2.   Menguasai dan mengelola sumber daya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan warganya;
3.   Bertindak kedalam dan mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya. Ke luar bertindak atas nama persekutuan sebagai badan hukum;
4.   Hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya;
5.   Hak membentuk adat;
6.   Hak menyelenggarakan sejenis peradilan.
Pada kasus noken, dapat dipahami bahwa Masyarakat Papua memiliki hak untuk tetap melaksanakan dan melestarikan sistem tersebut. Hal ini didasarkan pada pendapat yang telah dijabarkan oleh Juned. Pelaksanaan sistem noken dapat dipahami sebagai pengertian yang lebih luas daripada hak Masyarakat Papua untuk menjalankan pemerintahannya sendiri serta dalam rangka membentuk suatu adat tertentu.   
Berbagai upaya untuk melindungi keanekaragaman budaya dan adat memang telah menjadi demikian penting bagi pemerintahan nasional dan juga masyarakat internasional. Dalam beragam bidang budaya (seperti warisan budaya benda, warisan budaya tak benda, ekspresi budaya, pertukaran budaya, dan perdagangan benda budaya secara illegal), berbagai kesepakatan dan peraturan/ acuan di tingkat regional dan internasional telah disusun guna melindungi dan mempromosikan pemahaman kunci mengenai keanekaragaman budaya tersebut.

B.         Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Noken Ditinjau Berdasarkan Hak Politik Warga Negara

Banyak pihak yang menyayangkan bahwa mekanisme pelaksanaan noken dilakukan dengan cara ditentukan secara bersama-sama terlebih dahulu sebelum dicoblos. Salah satu pihak yang berkeberatan terhadap hal tersebut adalah Komisioner HAM, Natalius Pigai.
 Natalius menyatakan bahwa pemilu menggunakan sistem noken berpotensi melanggar HAM. Seharusnya pemilu di Papua dilaksanakan secara individual bukan dilaksanakan secara komunal. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa pada kenyataannya kebanyakan Masyarakat Papua sendiri bersifat egaliter dan demokratis[13]. Sehingga hak pilih politik Rakyat Papua dapat terabaikan dengan adanya pelaksanaan sistem noken tersebut[14].
UUD NRI 1945 sendiri memang tidak tegas menyebutkan secara langsung bahwa setiap warga negara memiliki hak pilih langsung untuk menentukan atau memilih calonnya. Tidak ada satu pasalpun yang menuliskan nomenklatur secara jelas yang mengatur mengenai hak pilih rakyat secara langsung ini.
Namun ada beberapa Pasal di dalam UUD NRI 1945 yang secara impilisit memberikan perlindungannya terhadap hak politik ini (hak pilih). Misalnya dalam Pasal 28D Ayat (3) dinyatakan :

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”

Kemudian di dalam pasal yang lain, Pasal 28E Ayat (2) juga dinyatakan:

“Setiap orang berhak untuk meyakini kepercayaan, meyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”     

Di dalam Pasal 28E Ayat (3) juga dinyatakan :

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”

Ketiga pasal diatas merupakan jaminan terhadap hak politik bagi setiap warga negara dan penduduk. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan perlindungannya terhadap hak pilih yang dimiliki setiap warga negara dalam pemilu.
Jimly Asshiddiqie menyatakan untuk jaminan hak politik yang diatur di dalam Pasal 28D Ayat (3) tersebut sebenarnya telah masuk ke dalam kelompok HAM yang berlaku sebagai hak konstiusional warga negara. Sedangkan untuk Pasal 28E Ayat (2) dan (3), ia menggolongkan hak yang diatur di dalam pasal tersebut sebagai hak yang berlaku bagi setiap orang (penduduk), khususnya terhadap Warga Negara Indonesia dengan berlaku keutamaan-keutamaan tertentu.[15]Argumentasi Jimly tersebut diperkuat dengan pendapat Mahfud MD yang juga menggolongkan hak memilih ini ke dalam kelompok hak asasi politik (political right).[16]   
Di dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia, hak pilih langsung dapat ditemukan pengaturannya di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM.[17] Di dalam Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 dijelaskan,

“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dengan melihat pengaturan diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap hak pilih yang dimiliki oleh setiap warga negara, selalu dibingkai oleh pelaksanaan pemungutan suara dalam pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Mengenai hal ini, diperkuat juga dengan adanya bunyi Pasal 25 konvensi Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menyatakan :
Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk :
1)       Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara
langusng, ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara
bebas;
2)       Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang
murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta
dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk
menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari pemilih;
3)       Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas
dasar persamaan dalam arti umum.          

Pada point kedua disebutkan bahwa memilih dalam pemilu berkala dilakukan dengan melalui pemungutan suara secara rahasia. Pemungutan suara secara rahasia hanya dapat dilakukan jika pemungutan suara dilakukan dengan cara pemilih menggunakan hak pilihnya secara langsung (one man one vote).
Dengan diaturnya pasal tersebut telah membuat Indonesia memiliki konsekuensi dalam penerapannya. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tentang Hak Sipil dan Politik pada Tanggal 31 September 2005. Dengan demikian Indonesia sebenarnya telah mengikatkan diri untuk mematuhi segala hak yang daitur di dalam konvensi.[18] Hak pilih yang dilindungi oleh Konvensi ini sepenuhnya harus diakomodir oleh Indonesia sebagai negara peserta konvensi.
Prinsip HAM universal juga menyebutkan bahwa negara wajib menjamin hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Karenanya setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan apapun memperoleh kesempatan yang efektif menikmati hak ini.[19]
Hal ini pada pokoknya, menjamin setiap warga negara untuk secara bebas (freely) turut serta dalam urusan publik dengan memilih wakil-wakilnya yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif. Dyah Permata Budi Sari menyatakan, hak ini juga erat kaitannya dengan hak lain yang tidak dapat dipisahkan yaitu kebebasan berekspresi (freedom of expression), berserikat (assembly), dan berkumpul (association).
Hak memberikan suara atau memilih merupakan hak dasar (basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan di dalam UUD NRI 1945 maupun UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik.[20]
Pengunaan hak pilih oleh warga negara dalam pemilu juga bersifat subjektif. Penggunaannya tidak boleh diintervensi siapapun, baik oleh negara maupun kepala suku.[21] Namun pada praktiknya, di dalam sistem noken penggunaan hak pilih ini telah terkikis dengan cara sedemikian rupa. Hak pilih Masyarakat Papua tidak dilaksanakan secara langsung, karena pilihan terhadap calon dilakukan dengan cara musyawarah seluruh Warga Suku terlebih dahulu. Lalu kepala suku memiliki otoritas penuh dalam menentukan hasil musyawarah dari warganya.[22]   
Padahal hakikat dari hak pilih ini adalah adanya kebebasan dari setiap pemilih untuk menentukan calon, serta tidak boleh adanya intervensi dari pihak manapun untuk mempengaruhi hasil pilihan politik pemilih. Sedangkan dalam kasus noken di Papua, kepala suku memiliki kewenangan / otoritas yang kuat dalam menentukan pilihan calon kandidat dalam pemilu. Dengan demikian dapat dikatakan sistem noken telah mengikis dari keberadaan hak politik dari setiap warga negara yang ada di Papua.[23]

C.         Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Noken Ditinjau Berdasarkan Asas Pemilu “Luber dan Jurdil”

Mekanisme pelaksanaan pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan Asas “Luber dan Jurdil”. Asas tersebut merupakan kepanjangan dari kata langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Terkait asas tersebut, konstitusi telah memberikan perlindungannya. Di dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945 dijelaskan :
“ Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”

Pengaturan asas luber dan jurdil juga terdapat dalam pengertian pemilu yang termuat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Di dalam Pasal 1 UU tersebut dijelaskan :

“Pemilihan umum, selanjutnya disebut pemilu adalah saranan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945”  

Memang di dalam pengaturan diatas tidak disebutkan secara tegas bahwa asas pemilu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun di dalam Penjelasan UU No. 8 Tahun 2012, dinyatakan bahwa sesuai dengan Pasal 22E UUD NRI 1945, pemilu Anggota Legislatif diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Adapun tujuan dari diselenggarakannya pemilu berdasarkan asas luber dan jurdil adalah guna mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal.[24]
Di dalam Penjelasan UU No. 8 Tahun 2012 juga dimuat secara singkat mengenai penjelasan masing-masing asas. Asas langsung berarti rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Kemudian pemilihan yang bersifat umum adalah memiliki makna bahwa pemilu harus menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.[25]
Asas bebas, berarti setiap warga negara berhak memilih bebas dalam menentukan pilihannya, tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Oleh karena terkait dengan kebebasan yang dimiliki setiap warga negara dalam pemilu, negara harus terlibat untuk menjamin keamanannya. Sedangkan asas rahasia memiliki arti bahwa dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin pilihan suaranya tidak akan diketahui oleh pihak manapun. Sehingga kerahasiaan pilihan dari pemilih akan terlindungi.[26]
Asas jujur dan adil mengandung arti bahwa semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak jujur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta pemilih harus mendapatkan perlakuan yang adil dan terbebas dari kecurangan pihak manapun. Jadi undang-undang telah memberikan perlindungan secara maksimal bagi seluruh pihak agar penyelenggaraan pemilu ini berjalan secara demokratis dan berkualitas.[27]  
Keseluruhan asas luber jurdil tersebut jika dikaitan dengan sistem noken, maka dapat dilihat pertentangannya. Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengungkapkan bahwa sistem noken sebenarnya telah merusak asas-asas pemilu. Pigai tidak merinci secara jelas asas mana yang telah dirusak oleh sistem noken. Oleh karena itu penulis disini akan menganalisis jika sistem noken ditinjau berdasarkan asas-asas pemilu Luber dan Jurdil.
Pertama, jika ditinjau berdasarkan asas langsung, tentu sistem noken sangat bertentangan dengan asas tersebut . Dalam praktiknya,  sistem noken dilaksanakan dengan mekanisme yang berbeda, tidak seperti yang diatur di dalam undang-undang.[28] Hal ini diperkuat dengan peryataan Sengadji dalam persidangan PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2014. Ia menyatakan bahwa noken dilaksanakan dengan dua mekanisme. Mekanisme pertama, seluruh masyarakat di sekitar TPS dikumpulkan serta diminta sejumlah surat suara tertentu lalu surat-surat suara tersebut dimasukkan ke dalam kantung-kantung yang tersedia. Cara kedua, melalui sistem ikat, yaitu jumlah suara langsung dibagikan kepada salah satu partai/pasangan calon/calon.
Baik melalui cara pertama maupun cara kedua, pemilih tidak langsung mencoblos surat suara dan memasukkannya ke dalam kotak suara. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan asas langsung di dalam pemilu, karena asas tersebut menghendaki para pemilih datang secara langsung ke TPS dan mencoblos surat suaranya masing-masing, tanpa perantara.
Kedua, sistem noken ditinjau berdasarkan asas umum, maka tidak terdapat pertentangannya terhadap asas tersebut. Asas umum menghendaki setiap pemilih memiliki kesempatan guna dapat berpartisipasi dalam pemilu. Partisipasi tersebut dilaksanakan tanpa adanya diskriminasi suku, agama, ras, jenis kelamin, dan lain-lain. Dalam pelaksanaan sistem noken sebenarnya tidak terjadi tindakan-tindakan diskriminasi terhadap pemilih. Yang terpenting dalam sistem itu adalah seluruh pemilih mentaati kesepakatan pilihan yang telah dibuat saat musyawarah dengan kepala suku. 
Ketiga, jika sistem noken ditinjau berdasarkan asas bebas pemilu, maka keduanya dapat dikatakan saling bertentangan. Pada pelaksanaan sistem noken, musyawarah serta keputusan kepala suku selalu dijadikan ukuran dalam menentukan pilihan calon. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ketua MRP, Timotius Murib sebagai berikut :

“Adapun mekanisme untuk pengambilan keputusan melalui sistem noken dan/atau sistem ikat tersebut diatas dapat berdasarkan hasil musyawarah bersama atau berdasarkan keputusan otoritas kepala suku yang sekaligus merupakan representasi politik dari masyarakatnya”[29]   

Dari ungkapan Timotius tersebut, dapat dipahami bahwa peran kepala suku berpengaruh besar dalam pilihan para masyarakat yang menggunakan noken. Padahal yang dimaksud dengan asas bebas disini adalah para pemilih memiliki kebebasan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun, bahkan negara ataupun kepala suku sekalipun tidak diperbolehkan untuk mengintervensi pilihan dari pemilih.
Keempat,  jika sistem noken ditinjau berdasarkan asas rahasia, maka secara jelas terlihat asas ini telah dilanggar. Noken dilaksanakan berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan oleh kepala suku dan masyarakat. Dari hasil tersebut  maka akan diperoleh kesepakatan pilihan, kalaupun tidak, pilihan dapat diserahkan sepenuhnya kepada kepala suku. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya sistem ini tidak mengandung asas kerahasiaan sama sekali. Seluruh masyarakat telah tahu pilihan politiknya yang harus jatuh kepada siapa, karena pilihannya bersifat homogen.
Kelima, pelaksanaan sistem noken jika ditinjau berdasarkan asas jujur dan adil, dapat dikatakan tidak ada yang bertentangan sama sekali.  Sepanjang seluruh penyelenggara pemilu dan pihak terkait bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka asas jujur ini tidak terlanggar. Pelaksanaan teknis sistem noken diatur di dalam SK KPU yang dikeluarkan oleh KPU Provinsi Papua.  Jadi ketika terdapat pelanggaran, baru asas ini akan terlanggar. Untuk asas adil juga sama, sepanjang pemilih diperlakukan dengan adil dan terbebas dari kecurangan dari pihak manapun, maka asas ini tidak terlanggar. Pelanggaran terhadap asas ini akan dibuktikan di dalam pengadilan. 
Dengan melihat analisa diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa asas pemilu yang telah terlanggar dalam pelaksanaan sistem noken. Asas yang telah dilanggar tersebut, diantaranya adalah asas langsung, bebas, dan rahasia. Sedangkan untuk asas umum, jujur, dan adil jika dilaksanakan secara benar, maka asas ini tidak terlanggar dalam pelaksanaan sistem noken.













[1] Mekanisme pelaksanaan noken secara praktis telah dijelaskan oleh Timotius Murib dalam Sidang PHPU Gubernur Papua Tahun 2013. Timotius Murib, menjelaskan bahwa noken dilaksanakan dengan dua cara (variasi). Cara pertama dilakukan dengan bermusyawarah terlebih dahulu bersama seluruh warga masyarakat atau hanya sebagian melalui perwakilan.  Musyawarah dipimpin oleh Kepala Suku atau Adat untuk menentukan calon yang akan dipilih di dalam Pemilu. Jadi hanya terdapat satu calon terpilih yang akan dicontreng atau ditusuk untuk dimasukkan ke dalam noken-noken (kantung) yang telah tersedia. Cara kedua yaitu dengan memberikan kewenangan sepenuhnya dalam memilih calon kepada Kepala Suku atau Adat, walaupun tidak dengan dilakukan musyawarah terlebih dahulu. Menurut Timotius Murib hal ini sah-sah saja bagi masyarakat Papua Pegunungan Tengah.
Sedangkan Hasjim Sengadji, Saksi KPU pada Sidang PHPU Pilpres 2014, menyatakan pengambilan keputusan pilihan dalam noken melalui 2 (dua) cara. Cara pertama yaitu dengan mengumpulkan seluruh anggota masyarakat yang memiliki hak pilih, kemudian tokoh masyarakat (kepala suku) meminta surat suara mereka dan memasukannya ke dalam noken, dengan catatan pilihan telah ditentukan oleh kepala suku tersebut. Cara kedua yaitu melalui sistem ikat. Jumlah seluruh pemilih di dalam suatu tempat atau kampung tertentu langsung dibagikan kepada partai/calon/pasangan calon. Lihat secara lengkap di dalam Putusan MK No. 14/PHPU.D-XI/2013. Gugatan PHPU diajukan oleh DR. Habel Suwae, S.Sos., M.M. dan Ev. Yop Kogoya, Dip.Th.,MM. (Pasangan Calon Nomor Urut 6 Pemilukada Papua 2013)

[2] Putusan MK Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009, h. 46
[3] Putusan MK No. 14/PHPU.D-XI/2013, h. 194

[4] Kurniawan Wawan, Peta Perundang-undangan Tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat, h.3

[5] Op.Cit., Simarmata, 2006

[6] Ibid.


[7] Laporan Dunia UNESCO, Berinvestasi dalam Keanekaragaman Budaya dan Dialog Antar Budaya : Ringkasan Eksekutif, h. 3 

[8] M.D.A. Freeman, Llyod’s Introduction to Jurisprudence, Edition VII, (London : Sweet and Maxwell Ltd), h. 904-905


[9] Di dalam Pasal ini, menurut Kurnia Warman memberikan persyaratan yang lebih sedikit dan tidak rigid. Lihat Kurnia Warman, Peta Perundang-undangan Tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat, h. 4
[10] Seperti diketahui Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tentang Hak Ekosob pada Bulan Oktober 2005. Oleh karena itu, Indonesia dituntut untuk memberikan laporan mereka terhadap kemajuan dan pemenuhan hak-hak yang dimuat di dalam konvensi. Laporan tersebut diserahkan secara bertahap kepada Sekretaris Jenderal PBB. Laporan tersebut diserahkan secara bertahap kepada Sekretaris Jenderal PBB. Kemudian laporan tersebut akan disalin untuk disampaikan kepada Dewan Ekonomi Sosial. Lihat Ifdhal Kasim, Implementasi Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya : Kerangka Normatif dan Standar Internasional, dalam sebuah makalah yang disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional tentang “Menuju Perlindungan dan Pemantauan yang efektif Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR), di Yogyakarta 16 April 2007, h. 2. dan Article 16 Convenan on Economic, Social, and Cultural (CESC).  

[11]  Biasanya Organisasi-organisasi non pemerintah (NGO), seperti Amnesty Internasional akan ikut mengumpulkan informasi terkait pemenuhan hak-hak  yang ada dalam konvensi. Lihat Lihat Amnesty Internasional, Indonesia : Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Menanyakan Hak-Hak Tersebut kepada Pemerintah, dalam Pernyataan Publik Tanggal 21 Januari 2014, h. 1

[12] Lihat Lois B. Sohn, International Protection of Human Rights, (New York : Oxford University Press, 1973), h. 23 dan Ian Browlie, Principle of Public International Law, (New York : Oxford University Press, 1990), h. 123   
[13] Melkior N.N. Sitokdana, Kontroversi Peran Bigman dalam Pemilihan Sistem Noken di Papua, dalam www.komapo.go.id. Menurut Pigai, dari 237 suku yang ada di Papua hanya satu suku yang menggunakan sistem feodalisme, yakni Suku Dani. 

[14]Pelanggaran HAM yang dimaksud Pigai diatas belum jelas, apakah hak pilih atau hak lainnya. Namun disini penulis berpendapat bahwa sistem noken berpotensi melanggar hak pilih yang dimiliki oleh setiap warga negara.

[15] Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer (BIP), 2009) h. 443

[16] Moh. Mahfud MD,  Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), h. 127

[17] Sejalan dengan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Konvensi ILO Nomor 169 juga mengatur mengenai perlindungan praktik-praktik sosial yang terjadi di dalam masyarakat adat. Di dalam Pasal 5 Konvensi ILO Nomor 169 dinyatakan,
Dalam menerapkan ketentuan-ketentuan konvensi ini :
(a)       Nilai-nilai dan praktik sosial, budaya, dan agama, dan spiritual (rohani) masyarakat hukum adat ini diakui dan dilindungi, dan hakikat dari masalah-masalah yang mereka hadapi baik sebagai kelompok maupun sebagai individu diperhatikan sebagaimana seharusnya;
(b)       Keutuhan dari nilai-nilai, praktik-praktik dan institusi-institusi dari masyarakat adat ini dihormati;
(c)       Diterapkan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh masyarakat hukum adat ini dalam menghadapi kondisi-kondisi baru dalam kehidupan dan pekerjaan, dengan partisipasi dan kerjasama dari masyarakat hukum adat yang mengalami kondisi-kondisi baru tersebut.”

[18]Ignatius Haryanto, dkk., Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik : Panduan Bagi Jurnalis, (Jakarta : Lembaga  Studi Pers dan Pembangunan, 2000), h.45. Lihat juga Tataq Chidmad, Kritik terhadap Pemilu Langsung, (Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2004), h. 57

[19] Negara Wajib Melindungi Terhadap Hak untuk Memilih dalam Pemilu, dalam Situs YBHI, diakses pada Tanggal 9 September 2015, Pukul 08.30 WIB


[20] Dyah Permata Budi Sari, Pemenuhan Hak Asasi Manusia terhadap Hak untuk Memilih dan Tidak Memilih (Golput) dalam Pemilu 2009, di dalam Jurnal Konstitusi PK2P FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Vol. II No. 1, Juni 2009, h. 8


[21] Dyah Permata Budi Sari, Pemenuhan Hak Asasi Manusia terhadap Hak untuk Memilih dan Tidak Memilih (Golput) dalam Pemilu 2009, di dalam Jurnal Konstitusi PK2P FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Vol. II No. 1, Juni 2009, h. 8

[22] Pada kasus Pilpres 2014, dalam persidangan PHPU, Hasjim Sengadji menyatakan :
“….Penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara tidak seragam untuk masing-masing kabupaten di daerah pegunungan. Pemilihan dilakukan atas dasar kesepakatan bersama sekelompok orang yang dipimpin oleh tokoh masyarakat/kepala suku. Ada beberapa cara pengambilan keputusan yang secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut : (1) mengumpulkan sejumlah anggota masyarakat pemilih di sekitar area TPS, kemudian tokoh masyarakat/kepala suku meminta surat suara sejumlah pemilih tertentu dan surat suara itu dimasukkan ke dalam noken untuk diberikan kepada partai/calon/pasangan calon; (2) menggunakan hak pilihnya dengan sistem ikat, yaitu jumlah pemilih di suatu tempat/kampung tertentu langsung dibagikan kepada partai/pasangan calon/calon….”. Lihat Putusan MK No. No. 1/PHPU.PRES-XII/2014

[23] Pada kasus noken, kepala suku memiliki kewenangan penuh dalam menentukan pilihan, ataupun dapat dikatakan memiliki pengaruh yang begitu kuat untuk menentukan calon. Hal ini dikarenakan di dalam sistem pemerintahan adat Papua dikenal dengan Sistem Kepemimpinan “Pria Berwibawa” atau “The Bigman”. Oleh karena itu hak pilih warga masyarakat Pegunungan Tengah Papua, banyak dipengaruhi oleh kepala suku. Maka wajar jika salah satu calon mendapatkan 100 (seratus) % suara.     

[24] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Anggota DPR,DPD, dan DPRD, h. 2

[25] Ibid.

[26] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Anggota DPR,DPD, dan DPRD, h. 2

[27] Ibid.

[28] Pasal 154 UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Anggota DPR,DPD, dan DPRD. Dinyatakan di dalam pasal tersebut : “Pemberian suara untuk Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda pada gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara.”
[29] Risalah Sidang PHPU Perkara Nomor 14/PHPU.D-XI/2013, h.5 (Selasa, 5 Maret 2013)

0 Response to "Persinggungan Budaya dan Politik dalam Praktik Pelaksanaan Sistem Noken di Papua"

Posting Komentar