Abrahan Samad dan Bambang Widjojanto (paling kanan dan kedua dari kanan) telah menjadi tersangka |
A. Pendahuluan
Dua
dari empat Pimpinan KPK jilid empat[1]
menjadi tersangka, yakni Abraham Samad dan Bambang Widjajanto. Penetapan
tersangka keduanya tidak lama setelah ditetapkannya Budi Gunawan[2]
(Calon Kapolri) sebagai tersangka oleh KPK.
Abraham Samad diduga terlibat kasus pemalsuan dokumen (KTP, paspor, dan
kartu keluarga)[3]
pada Tahun 2007 sedangkan Bambang Widjajanto diduga menghadirkan saksi palsu
pada Sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi Tahun 2010.[4]
Ditetapkannya
Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai tersangka, mengakibatkan tiga
kursi Pimpinan KPK kosong.[5]
Satu kursi Pimpinan KPK yang lain sudah kosong, sejak masa jabatan Busyro
Muqoddas berakhir.Oleh karena itu KPK hanya dipimpin aktif oleh dua orang
pimpinan, Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain.
Kekosongan
Pimpinan KPK tidak hanya terjadi dibawah kepemimpinan Abraham Samad, tercatat
pada periode 2007-2012, KPK pimpinan Antasari Azhar juga mengalami hal yang
sama. Setelah insiden rencana penangkapan Kabareskrim Polri, Komjen. Sesno
Duadji, atas dugaan korupsi simulator SIM oleh KPK, berturut-turut tiga
Pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri. Ketua KPK, Antasari
Azhar, ditetapkan tersangka atas dugaan pembunuhan direktur P.T. Putra Rajawali
Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Sedangkan Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto
dan Chandra M. Hamzah dijadikan tersangka karena diduga melakukan pemerasan
kepada Anggoro Widjojo dan Joko S. Tjandra. Sehingga pimpinan KPK waktu itu
yang tersisa hanya dua orang, Haryono Umar dan Mochammad Jasin.
Menarik
dari dua peristiwa kekosongan kursi pimpinan KPK diatas, terdapat beberapa
persamaan. Pertama, berawal dari
sumbu yang sama, yakni ketika KPK tengah mengungkap kasus korupsi yang
melibatkan pejabat Polri. Kedua,
waktu penetapan tersangka para pimpinan KPK tidak lama setelah penetapan
tersangka pejabat Polri oleh KPK itu sendiri. Sehingga masyarakat pun kerap
mengkait-kaitkan penetapan tersangka pimpinan KPK tersebut sebagai upaya
pelemahan KPK oleh Polri, bahkan lebih ekstrim disebut sebagai upaya
kriminalisasi KPK.
Seperti
diketahui bersama, Pimpinan KPK memiliki peran strategis atas tata kerja dan
keorganisasian KPK. Segala keputusan yang terjadi di dalam KPK, berpangkal pada
Pimpinan KPK dan diputuskan bersama.[6]Sehingga
kekosongan anggota pimpinan KPK dapat mengganggu kinerja KPK serta berpotensi
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi.[7]
Sejak
Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan tersangka, beberapa masyarakat
bereaksi dan memahami peristiwa tersebut sebagai bagian upaya pelemahan KPK.
Muncul wacana di tengah-tengah masyarakat agar diberikan imunitas bagi pimpinan
KPK.
B. Definisi
dan Konsep Hak Imunitas
Secara termonologi,
imunitas berasal dari bahasa Inggris “immunity” yang berarti “kekebalan”,
atau dalam arti lain “tidak dapat
diganggu gugat.” Sedangkan, Black’s Law Dictionary mendeskripsikan
imunitas dengan pengertian ”Immunity is any exemption from a duty,
liability, or service of process; especially, such an exemption granted to a
public official or governmental unit.”[8]
Hak imunitas atau hak
kekebalan secara garis besar adalah hak kekebalan atas yuridiksi hukum yang
diberikan kepada pihak-pihak tertentu. Secara global, dalam hukum internasional
kita mengenal beberapa hak imunitas, antara lain:[9]
1.
Imunitas diplomatik; yaitu
imunitas yang diberikan kepada perwakilan diplomatik suatu negara ketika sedang
menjalankan tugasnya di negara penerima.[10]
Biasanya hak ini diberikan kepada para perwakilan diplomatik seperti, Duta
Besar, Konsulat dan Perwakilan Diplomatik lainnya;
2.
Imunitas negara; yaitu
imunitas yang diberikan atas dasar sovereign equality di mana semua
negara dianggap memiliki kedaulatan yang sama. Imunitas ini mengandung prinsip
bahwa kedaulatan suatu negara tidak boleh berlaku di atas kedaulatan negara
lainnya.[11]
3.
Imunitas kepala negara;[12]
yaitu imunitas yang diberikan kepada kepala negara atas tugas dan fungsinya
sebagai seorang kepala negara.[13]
Seorang kepala negara memiliki imunitas diplomatik dan imunitas negara.
4.
Imunitas ratione
personae; yaitu imunitas yang diberikan negara kepada seseorang berdasarkan
kedudukan atau jabatan yang diembannya dalam negara.[14]
C. Dampak
Perolehan Hak Imunitas
Pemberian atau
perolehan hak imunitas bagi para pimpinan KPK memiliki dua sisi yang harus diperhatikan,
yaitu sisi positif dan sisi negatif.
1) Sisi
Positif
Pemerintah
selaku pemberi kekebalan hukum akan merasakan manfaat dari penjaminan tersebut
berupa lancarnya roda pemerintahan dan pelaksanaan program, khususnya dalam
masalah pemberantasan korupsi. Kemandirian dari KPK diharapkan dapat mengikis
masalah-masalah yang timbul dalam pencapaian negara yang bersih dari korupsi
atau memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Kemandirian pelaksanaan
tugas ini dikarenakan adanya kebebasan yang diberikan pada KPK, yaitu berupa
legalisasi hak imunitas.
KPK
selaku pemegang mandat dari kekebalan tersebut merasakan manfaatnya dalam hal
dukungan untuk mensukseskan program-program dan kelancaran tugas-tugasnya.
Kekebalan hukum itu sendiri merupakan dukungan pemerintah yang seharusnya
mereka terima. Imunitas yang mereka peroleh merupakan suatu jaminan akan
dukungan pemerintah, atas segala tindakan mereka dalam rangka memberantas
korupsi dan mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi.
Sedangkan
masyarakat akan menikmati langsung hasil dari terobosan-terobosan hukum yang
akan dilakukan KPK. Kecekatan merespon kebutuhan masyarakat dan terobosan-terobosan
itu tidak akan hadir jika tidak didukung penjaminan hukum terhadap sikap-tindak
KPK. Di sisi lain, keadaan itu akan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan martabat
negara di dunia internasional. Hal ini akan menggambarkan kekuatan kemampuan
dan kredibilitas negara dalam komitmen pemberantasan korupsi.
2) Sisi
Negatif
Pemberian
hak imunitas bagi pimpinan KPK akan menimbulkan dampak negatif yang bertendensi
digunakan untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya. Keuntungan yang dimaksud
adalah memanfaatkan kekebalan hukum dalam pelanggaran terhadap aturan-aturan
yang ada tetapi tidak untuk kepentingan negara atau masyarakat banyak.
Hak
imunitas juga rentan untuk digunakan sebagai alat menghambat proses hukum suatu
kasus yang menimpa pejabat negara atau juga dapat dimanfaatkan untuk terlepas
dari jeratan hukum. Keistimewaan ini sangat mungkin digunakan untuk mempersulit
proses hukum kepada pemegang hak imunitas. Selain itu, kekebalan hukum
terkadang menyebabkan banyaknya kasus yang tidak selesai bahkan tidak terungkap
sama sekali.
D. Kerangka
Hukum Pemberian Hak Imunitas
Sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, pemberian hak imunitas telah menjadi polemik. Hal
ini menimbulkan pertanyaan, apakah pemberian hak imunitas ini dapat dibenarkan
dalam sistem hukum negara kita?. Di bawah ini dikemukakan dua argumentasi hak
imunitas baik yang berpandangan Kontra
maupun yang berpandangan Pro.
1) Mendukung
atau Pro Hak Imunitas
Pertama, Konvensi
PBB anti korupsi Pasal 37 ayat 3 (Article
37 Number 3 United Nations Convention Againts Corruption, 2003)
menjelaskan bahwa negara harus mempertimbangkan upaya “kekebalan bagi
penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam
penyelidikan hukum. Namun, hal tersebut tidak berlaku kepada yang tertangkap
tangan melakukan kejahatan.
Each State Party
shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental
principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution to a
person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution
of an offence established in accordance with this Convention.[15]
Konvensi tersebut telah diratifikasi[16]
oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Proposisi
di atas menjelaskan bahwa hak imunitas yang dimaksudkan hanya berlaku selama
pimpinan KPK menjabat dan dalam konteks pelaksanaan tugas. Selain itu, hak
tersebut juga akan dibarengi dengan pengecualian, yakni bila pimpinan KPK tertangkap
tangan melakukan korupsi. Dengan demikian, hak imunitas yang akan diberikan
kepada KPK sebaiknya adalah hak imunitas personal, yaitu hak kebal hukum yang
diberikan pada seorang pejabat selama bertugas (Imunitas ratione personae).
Kedua,
hak imunitas merupakan aturan yang mulai berkembang secara internasional. Sebagai
contoh, pemberian hak imunitas kepada institusi pemberantasan korupsi telah ada
di beberapa negara, yaitu:
a. Malaysia memiliki Malaysia Anti Corruption Comission Act
2009 section 72.
b. Swiss memiliki The Prevention of Corruption Act Number 3
of 2006 section 17.
c. Zambia memiliki Anti-Corruption Comission Act Chapter 91.
d. Australia, di negara bagiannya Victoria yaitu Independent
Broad based Anti-Corruption Comission (IBAC) Act 2011 Number 66 section 193,
Immunity of The IBAC and IBAC Offices.[17]
Ketiga,
hak imunitas
sebenarnya telah ada di Indonesia yang saat ini dimiliki oleh anggota Ombudsman
dan DPR. Dasar dari pemberian hak imunitas kepada anggota Ombudsman dan DPR
sangat jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Untuk anggota Ombudsman diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman yang menyatakan “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat
ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan.”
Sedangkan
untuk anggota DPR diatur dalam Pasal 224 ayat 1 dan 2 UU Nomor 17 Tahun 2014
tentang MD3 yang menyatakan:
1) Anggota DPR tidak dapat
dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat
yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR
ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas
DPR;
2) Anggota DPR tidak dapat
dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat
DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan
konstitusional DPR dan/atau anggota DPR
.
Selanjutnya,
Pasal 224 ayat 5 UU yang sama menyatakan
Pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya, harus mendapat persetujuan tertulis
dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Sedangkan
dalam ayat 6 menyatakan “Bahwa MKD harus memproses dan memberikan putusan
atas surat permohonan tersebut paling lambat 30 hari setelah surat tersebut
diterima.” Selanjutnya dalam ayat 7 menyatakan bahwa “Jika MKD memutuskan
tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota DPR, maka surat
pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 tidak memiliki kekuatan hukum
atau batal demi hukum.”
Jika
kondisinya demikian, lembaga negara seperti KPK juga dimungkinkan bisa memilikinya.
Ini sebagai suatu asas perimbangan perlakuan yang diberikan kepada lembaga
negara.
Keempat, hak imunitas juga ternyata diberikan kepada petugas
pajak di Indonesia. Presiden Joko Widodo akan mengeluarkan
Inpres kepada petugas pajak dalam menjalankan tugasnya. Pembahasan ini telah
dibahas oleh Menteri Keuangan, Menko Perekonomian, dan Dirjen Pajak pada Rabu,
06 April 2015. Inpres ini memberikan pengamanan hukum kepada petugas pajak. Hak
imunitas diberikan karena selama ini ketika petugas pajak melakukan penagihan
rentan untuk dikriminalisasi dengan aparat penegak hukum lainnya, khususnya
pihak Kepolisian.
Kelima, KPK saat ini rentan untuk dikriminalisasi. Hal ini
bisa dilihat dari satu persatunya pimpinan KPK yang ditarget
untuk menjadi tersangka. Dengan kata lain, KPK mulai digembosi satu persatu
agar kinerja KPK tidak seimbang. Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu
dan Zulkarnain berpotensi untuk terkena jerat hukum. Sebelumnya juga ada kasus-kasus
yang pernah terjadi seperti Cicak vs Buaya Jilid I terkait Bibit-Chandra, Susno
Duadji sampai dengan Kompol Novel Baswedan.
Hal
tersebut tentu menjadi preseden buruk terhadap penguatan lembaga anti rasyuah
ini. Dengan demikian, prinsip
kerja KPK yang kolektif-kolegial tidak akan tercapai. Untuk itu diperlukan
suatu terobosan hukum yang baru dan berani dalam menjaga marwah KPK dengan
memberikan hak imunitas kepada pimpinan KPK.
Jika
KPK tidak diberikan hak imunitas, kasus-kasus korupsi yang ada di KPK secara
otomatis tidak dapat diselesaikan dengan tepat dan cepat atau justru KPK akan
stagnan karena terjadinya kekosongan pimpinan. Dengan demikian, agenda utama
KPK dalam pemberantasan korupsi akan berjalan di tempat.
Keenam,
Setidaknya untuk saat ini, telah ada usulan pemberian hak imunitas secara
terbatas. Pemberian imunitas secara terbatas dimaksudkan agar pimpinan KPK
tidak kebal hukum selamanya dan memberikan perlindungan kepada Pimpinan KPK
pada saat menjabat karena tugasnya yang dirasa berat. Usulan tersebut menjadi
tiga, Pertama, memberikan batasan
terhadap jenis tindak pindana.[18]
Jenis tindak pidana yang tergolong berat, yakni tindak pidana yang ancaman
hukumannya diatas lima tahun tetap tidak dapat diberikan imunitas. Pengaturan
hal semacam ini sama seperti pengaturan mengenai alasan pemberhentian presiden
dan alasasn pemberhentian antar waktu DPR .[19]
Seperti yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003, yang dimaksud
tindak pidana berat yang dapat dijadikan alasan pemberhentian presiden adalah
tindak pidana yang ancaman 5 tahun atau lebih.[20]
Kedua, imunitas diberikan terhadap
Pimpinan KPK yang kasus hukum pada masa lalunya diusut kembali saat menjabat.[21]
Pembatasan seperti ini didasarkan pada “kejanggalan” kasus yang meninmpa
Pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Seperti diketahui Bambang
Widjojanto ditetapkan tersangka atas tuduhan menghadirkan saksi palsu 5 tahun
silam pada saat sidang PHPU Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan Abraham Samad dituduh membantu pemalsuan dokumen 8 tahun yang lalu. Pemberian
imunitas seperti ini tidak berlaku terhadap Pimpinan KPK yang tertangkap tangan
melakukan pidana. Ketiga, imunitas
diberikan secara personal. Hak imunitas
secara personal diberikan kepada seseorang pejabat selama bertugas. Imunitas
bukan hanya melekat pada saat mereka menjalankan tugas, tetapi juga pada saat
mereka duduk sebagai personal.[22]
Proses hukum tetap berjalan, setelah tidak menjabat Pimpinan KPK lagi. Hemat
penulis, hak imunitas secara personal dapat diberikan kepada Pimpinan KPK,
tetapi dibatasi dengan jenis tindak pidana yang tergolong berat dan tidak
berlaku apabila Pimpinan KPK tertangkap tangan melakukan tindak pidana
tersebut.
2)
Menolak
atau Kontra Pemberian Hak Imunitas
Pertama,
Asas persamaan di hadapan hukum
jelas menetapkan bahwa setiap orang atau individu memiliki kedudukan yang sama
di hadapan hukum tanpa ada perbedaan (equality
before the law). Dalam ranah cabang kekuasaan;
Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif tidak ada yang berbeda di hadapan hukum
sehingga tidak ada yang kebal terhadap hukum.
Kedua, Pasal
27 UUD 1945 menegaskan bahwa semua
warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa ada pengecualian. Selain itu, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”
Proposisi
di atas merupakan muatan UUD 1945 yang menjadi norma dalam konstitusi negara. Konstitusi
jelas menegaskan bahwa semua orang sama di hadapan hukum, sehingga pemberian
hak imunitas bagi para pemimpin KPK sama dengan pelanggaran terhadap konstitusi.
Ini dilegitimasi bahwa seorang Presiden RI pun tidak memiliki kekebalan hukum,
sebagaimana yang tercermin dalam Pasal 7A UUD 1945 bahwa ”Presiden dan wakil
presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila tidak
terbukti lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Ketiga, Hak
imunitas bertentangan dengan Pasal 36 dan Pasal 65 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 36
Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi dilarang:
1)
mengadakan
hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada
hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun;
2)
menangani
perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat
ketiga dengan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
3)
menjabat
komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas atau pengurus
koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan
dengan jabatan tersebut.
Pasal 65
Setiap
Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Konstruksi
hukum dua Pasal di atas mengisyaratkan bahwa Pimpinan KPK tidak memiliki hak
imunitas terhadap hukum karena Pimpinan KPK dapat dikenakan sanksi pidana
selama 5 tahun sesuai dengan Pasal 65 Undang-Undang No. 30 Tentang KPK.
Keempat, Hak
imunitas rentan untuk disalahgunakan untuk melakukan kejahatan (Law as a tool of crime).
Dengan kata lain, perbuatan jahat dengan menggunakan hukum sebagai
alatnya. Bila ini terjadi, maka kasus kejahatan yang terjadi akan sulit dilacak dan diadili oleh penegak hukum
karena diselubungi oleh aturan hukum dan
berada dalam aturan hukum itu sendiri.[23]
Kelima, Ada
ketidakseimbangan perlakuan hukum jika KPK diberikan hak imunitas. Dalam pemberantasan korupsi ada tiga
institusi yang bersama-sama berkomitmen untuk melakukan tindakan pemberantasan
korupsi yaitu KPK, Kepolisan dan Kejaksaan. Kepolisian dan Kejaksaan tidak
pernah meminta hak imunitas hukum dalam menjalankan tugasnya. Yang diperlukan oleh
ketiga institusi tersebut bukanlah hak imunitas, akan tetapi sebuah koordinasi,
harmonisasi dan sinergitas antar lembaga.[24]
Keenam, Tidak
boleh ada perlakuan istimewa kepada KPK. Jika KPK diberikan hak imunitas dalam
menjalankan tugasnya untuk memberantas korupsi sedangkan institusi Polri dan
Kejaksaan tidak, maka hal itu sama saja memberikan keistimewaan bahkan
menunjukkan keberpihakan kepada lembaga anti rasyuah tersebut.
Dalam
teori lembaga negara, menurut Dr. Irman Putra Sidin pada saat memberikan
keterangan ahli tentang Perppu Plt Pimpinan KPK di DPR pada Rabu 01 April 2015
menyatakan bahwa frame negara demokrasi, ada lembaga utama dan lembaga
penunjang. Dalam konteks pemberantasan korupsi sebenarnya Polri dan Kejaksaan
sebagai lembaga negara utama dan KPK sebagai lembaga negara penunjang. Kalau
lembaga penunjang seperti KPK lumpuh, maka Negara tidak otomatis lumpuh.
Pemberantasan korupsi masih dapat dilaksanakan oleh Polri dan Kejaksaan. Oleh
karena itu, pemberian hak imunitas kepada KPK merupakan perlakuan yang istimewa
dan diskriminatif kepada sesama aparat penegak hukum.[25]
Ketujuh, tetap menyerahkan Pimpinan KPK yang
bermasalah pada proses hukum sekaligus memfungsikan undang-undang.
Undang-Undang yang dimaksud yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang KPK
dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Proses yang diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, Pimpinan KPK yang ditetapkan tersangka harus
diberhentikan sementara.[26]
Apabila tidak puas atas penetapan tersangka atau dirasakan ada kriminalisasi,
Pimpinan KPK dapat mengajukan lembaga praperadilan.[27]
Hal ini sama dengan yang dilakukan Budi Gunawan ketika ditetapkan tersangka
oleh KPK. Salah satu tujuan lembaga praperadilan adalah penjaminan hak asasi
manusia dan perlindungan atas kesewenangan penegak hukum.[28]
Timbul permasalahan, jika sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, pengisian
pimpinan KPK sementara bisa memakan waktu lebih dari 6 bulan. Solusi atas permasalahan
tersebut adalah dengan mengeluarkan perpu. Perpu ini mengatur pengangkatan
Pelaksana Tugas (Plt.) Pimpinan KPK. Setidaknya di dua kepemimpinan presiden
berbeda, yakni Presiden SBY dan Jokowi, telah dikeluarkan perpu untuk mengatasi
permasalahan ini.[29]
E. Penutup
Pada
prinsipnya setiap subjek hukum (WNI) tidak ada yang memiliki kekebalan hukum.
Semua harus patuh dan taat pada hukum. Akan tetapi prinsip tersebut ada
pengecualian secara khusus diberikan kepada Pejabat negara yang menjalankan
tugas negara demi kepentingan umum.
Pengecualian
tersebut bersifat temporer atau sementara yang harus dimaknai bahwa selama
Pejabat negara tersebut menjabat segala persoalan hukum yang menyangkut dirinya
ditangguhkan sampai dengan jabatan dia berakhir. Setelah jabatan berakhir, maka
hak imunitas hilang dengan sendirinya sehingga proses hukum dapat berjalan
sebagaimana mestinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Brownlie,
Ian Principle of Public International Law, 6th Edition. New York: Oxford
University Press, 2003.
Dapo,
Akande and Sangeeta Shah, Immunity of State Officials, International Crimes,
and Foreign Domestic Courts, The European Journal of International Law Vol.
21 No. 4 EJIL 2011.
Ermann, M. David dan Richard J. Lundman,
Corporate and Governmental Deviance: Problems of Organizational Behaviour in
Contemporary Society, (New York: Oxford University Press. 1978).
Garner,
Bryan A. Black’s Law Dictionary. Minnesota: West Publishing Co., St
Paul, 2004.
The
Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961.
Saly, Jean Netje Analisis
Yuridis Terhadap Penelitian Perjanjian Keuangan Internasional dan Pembangunan
Ekonomi Nasional serta Negara Berkembang, Jurnal Legislasi Indonesia,
Vol. 3 No. 3 – September, Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, 2006.
United
Nations Convention Againts Corruption, 2003.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003).
Whats,
Sir Arthur, The Legal Position in International Law of Head of State, Head
of Giverment and Foreign Ministers, Receucil des Cours de I’Academie de droit
international de la Haye, Vol. 247.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum
Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di
Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995).
[1] KPK jilid I diketuai
Taufiqurrahman Ruki, KPK Jilid II diketuai Antasari Azhar, KPK jilid III
diketuai Busyro Muqoddas dan KPK jilid IV diketuai Abraham Samad
[2] Budi Gunawan ditetapkan
tersangka oleh KPK setelah Presiden mengajukannya sebagai calon Kapolri kepada
DPR RI, diduga Budi Gunawan menerima suap dan memiliki rekening gendut. Namun pada akhirnya Budi Gunawan menang pada
sidang praperadilan.
[3] Fajar Pratama, 2 dari 4 Pimpinan KPK Jadi Tersangka, yang
Lain Segera Menyusul?, dalam www.detiknews.com Tanggal 17 Februari
2015, Pukul 15.00 WIB
[4] Fidel Ali Permana, Berkas Perkara Bambang Widjojanto 99 Persen
Rampung, dalam Kompas.com Tanggal 16 Maret 2015 Pukul 16.11 WIB
[5] Dalam Pasal 32 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dijelaskan : “Dalam hal Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan
sementara dari jabatannya”.
[6] Pasal 21 undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
[7] Penjelasan Umum Perpu No. 4
Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi
[8] Bryan A. Garner, Black’s Law
Dictionary, (Minnesota: West Publishing Co., St Paul, 2004), h. 817.
[9] Dapo Akande and Sangeeta Shah, Immunity
of State Officials, International Crimes, and Foreign Domestic Courts, The
European Journal of International Law Vol. 21 No. 4 EJIL 2011, h. 818.
[10] Article 31, The Vienna
Convention on Diplomatic Relations 1961. “The person of a diplomatic agent
shall be inviolable; that he shall not be liable to any form of arrest or detention and that
the receiving State shall take alpropriate steps to prevent any attack on his
person, freedom or dignity.”
[11] Ian Brownlie, Principle of
Public International Law, 6th Edition, (New York: Oxford University Press,
2003), h. 321.
[12] Merupakan perpanjangan dari
imunitas diplomatik dan imunitas negara.
[13] Sir Arthur Whats, The Legal
Position in International Law of Head of State, Head of Giverment and Foreign
Ministers, Receucil des Cours de I’Academie de droit international de la Haye,
Vol. 247, h. 102-103.
[14] Dapo Akande and Sangeeta Shah, Immunity
of State Officials, International Crimes, and Foreign Domestic Courts, h.
818.
[15] Sebagai catatan, dalam ilmu hukum, perjanjian
internasional dapat dijadikan sumber hukum. (Asas Pacta Sun Servanda: Perjanjian menjadi sumber hukum).
[16] Dalam praktik,
masyarakat internasional membuat perjanjian dengan nama atau istilah yang
berbeda-beda. Istilah atau nama yang digunakan, antara lain: Treaty, Convention, Agreement, Protocol,
Covenant, Exchange Letter, Charter, Statute, Act, Declaration, Concordat,
Exchange Notes, Exchange Letter, Agreed Minutes, Memorandum of Understanding,
Final Act, General Act, Arrangement, Sumary Records, Process Verbal, Letter of
Intent, Fact, Compromise, dan Modus Vivende. Hal tersebut ditunjang pula
dengan dua prinsip hukum Internasional, yaitu berlandaskan pada anggapan yang
berkembang dalam lingkungan hukum internasional yaitu: Pacta Sun Servanda, yang
menyatakan bahwa suatu hukum internasional bersifat mengikat dan dan harus ditaati oleh seluruh masyarakat
internasional, serta asas Primat hukum internasional, yang berarti bahwa hukum
internasional memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum nasional.
Secara teori, ratifikasi adalah persetujuan oleh Kepala Negara atau Kepala
Pemerintahan dari negara penandatangan yang dibubuhkan pada perjanjian oleh
wakil-wakil yang berkuasa penuh yang telah diangkat secara penuh. Dikenal juga
prinsip Aksesi dan Adhesi, dalam praktik apabila suatu negara tidak
menandatangani suatu perjanjian internasional, akan negara itu hanya dapat
melakukan aksesi (accede) atau adhesi
(adhere) perjanjian itu. Menurut
praktek saat ini, suatu perjanjian yang bukan pendatangan juga dapat mengaksesi
atau mengadhesi perjanjian sebelum perjanjian yang bersangkutan berlaku. Aksesi
meliputi keikutsertaan sebagai peserta dari keseluruhan perjanjian
internasional dengan penerimaan penuh dan utuh atas semua ketentuannya kecuali
jika ada reservasi. Sedangkan adhesi adalah penerimaan hanya atas sebagian dari
perjanjian internasional. Pada dasarnya negara-negara yang tidak ikut serta
melakukan penadatanganan perjanjian internasional hanya dapat melakukan aksesi.
Aksesi ini dapat dilakukan apabila disetujui oleh semua negara yang menjadi
pesertanya. Rasio dan aturan ini adalah bahwa negara-negara peserta mempunyai
hak untuk mengetahui dan menyetujui masuknya negara lain sebagai peserta
perjanjian. Prinsip lain adalah reservasi (reservation),
reservasi merupakan suatu tindakan suatu negara untuk melakukan penghindaran
terhadap salah satu ketentuan dalam perjanjian internasional dan suatu negara yang
mengajukan reservasi hanya dapat melakukan dengan persetujuan negara-negara
peserta lain. Reservasi dan penerimaan atau penolakan terhadap reservasi harus
dibuat secara tertulis dan diundang-undangkan sebagaimana mestinya, juga
reservasi yang dibuat pada saat penandatanganan perjanjian internasional yang
mengharuskan ratifikasi, penerimaan dan persetujuan harus dikonfirmasikan dalam
instrumen ratifikasi, penerimaan dan persetujuan. Jean Netje Saly, Analisis Yuridis Terhadap Penelitian
Perjanjian Keuangan Internasional dan Pembangunan Ekonomi Nasional serta Negara
Berkembang, Jurnal
Legislasi Indonesia,
Vol.
3 No. 3
– September, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia, 2006, hlm.
68-76.
[17] Pemberian hak imunitas
menjadi fenomena di belahan dunia. Hal ini berarti sebagai bagian dari penduduk
dunia, Indonesia dapat mencontoh perbandingan sistem hukum yang mulai
berkembang. Dapat saja, Indonesia menerapkan perkembangan pemberian hak
imunitas setelah melalui kajian perbandingan hukum. Metode perbandingan hukum
tersebut di Indonesia dimulai oleh Soetandyo Wignyo Soebroto melalui konsepnya
tranplantasi hukum atau legal borrowing. Lihat Soetandyo
Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Nasional, Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm 1 – 16.
[18] Salah satu yang mengusulkan
adalah Imam Prasodjo. Lihat Syahrul Ansyari,
Imam Prasodjo : KPK Perlu Imunitas
Untuk Pidana Ringan dalam www.viva.co.id Tanggal 29 Mei 2015
Pukul 15 : 30 WIB
[19] Pasal 7A UUD NRI 1945. Didalam
Pasal 239 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dijelaskan Anggota DPR
diberhentikan antarwaktu salah satunya karena dinyatakan bersalah berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
[20] Pasal 10 Ayat (3) huruf c
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
[21] Salah satu yang berpendapat
adalah Bibit Samad Rianto.
[23] Konsep ini mirip dengan
konsep Elite Deviance. Dalam konsep Elite Deviance, setiap pimpinan dalam suatu
organisasi mempunyai sifat atau karakter yang bertendensi melanggar aturan hukum
akan tetapi motif dan perilaku menyimpang itu sulit untuk dideteksi karena
berlindung di balik posisinya sebagai pimpinan dan berlindung di balik aturan hukum
yang dimanfaatkannya. Elite Deviance ini lazimnya ditemukan dalam berbagai referensi
tentang kejahatan kerah putih (White Collar Crime). Lebih lanjut, Albert J.
Reis, Jr mengatakan ada enam ciri perliaku Elite Deviance tersebut, yaitu:
a.
While an
individual may deviate from norms without any organization being deviant, there
is no individual deviance that does not involve social interaction and
organization.
b.
Much
individual deviance is intricately linked to orginized systems and
organizations that also are defined as defiant.
c.
Organizations
and persons are related in deviance occurs when the organization is defined as
deviant in such as to classify all members or participants in it as deviant.
d.
Persons
and organizations are linked in deviance occurs when the organization is
defined as deviance but only those members who can be specifically charged with
behavioral participation are defined as deviant.
e.
Persons
and organizations are linked in deviance occurs when the organization is
defined as deviant as a consequence of the behaviour of some its members.
f.
Individuals
and organizations are linked in deviance when the organization is defined and
sanctioned as deviant, but the individual participants are not so regarde.
Alber J. Reis Jr, "Organizational Deviance",
dalam M. David Ermann dan Richard J. Lundman, Corporate and Governmental Deviance: Problems of Organizational
Behaviour in Contemporary Society, (New York: Oxford University Press.
1978). h. 29-33.
[24] Perkembangan terakhir, pimpinan
3 lembaga tersebut berencana membuat Satgas Gabungan Pemberantasan Korupsi yang
diinisiasikan oleh Jaksa Agung HM. Prasetyo.
[26] Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002
[27] Pasal 1 Butir 10 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981. Dengan melihat Yurisprudensi Putusan Praperadilan Perkara Budi
Gunawan, objek praperadilan meluas hingga penetapan tersangka.
[28] I Gede Yuliarta, Lembaga Pra Peradilan dalam Perspektif Kini
dan Masa Mendatang dan Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia di dalam ejournal.undip.ac.id
[29] Perpu yang dikeluarkan Presiden
SBY yakni Perpu Nomor 4 Tahun 2009 dan Perpu yang dikeluarkan Presiden Jokowi
yakni Perpu Nomor 1 Tahun 2015
0 Response to "Analisa Pemberian Hak Imunitas Kepada Pimpinan KPK "
Posting Komentar