Sosok Wanita di Tengah Arus Maskulinitas Penegakan Hukum

Sosok wanita penegak hukum di Indonesia

 
Banyak opini yang berkembang di dalam masyarakat, dunia penegakan hukum merupakan domain kaum pria. Sosok maskulin dinilai lebih tepat guna mengisi jabatan-jabatan penegak hukum di Indonesia. Sehingga tidak jarang posisi strategis struktural pada masing-masing lembaga penegakan hukum ditempati oleh kaum pria.  Kaum wanita yang menempati jabatan tinggi pada lembaga penegakan hukum masih sangat sedikit. Promosi karier masing-masing dari mereka cenderung lambat, sehingga jauh dari kata sukses.   
  Artha Theresia Silalahi, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur (salah seorang hakim wanita), membenarkan keadaan diatas, dan menarik permasalahan berdasarkan 3 (tiga) asumsi. Asumsi pertama, hakim wanita sering dituding sebagai hakim yang berpikir irrasional. Artinya, hakim wanita sering dituding sebagai hakim yang berpikir lebih menggunakan emosinya (hati) dibandingkan dengan logikanya (ratio). Tudingan ini tidak hanya berkembang di masyarakat, tetapi juga berkembang di lingkungan pengadilan sendiri. Asumsi yang kedua, tugas hakim yang berat dan menyita banyak waktu, turut mempengaruhi percepatan karir hakim wanita. Wanita dinilai tidak hanya mengemban amanah sebagai hakim, tetapi juga sekaligus merangkap sebagai seorang isteri dan ibu di rumah. Asumsi terakhir, sistem relokasi demi kepentingan dinas juga dinilai kerap menghalangi karier hakim wanita. Ada alasan keluarga bagi hakim wanita yang lebih utama dibandingkan harus direlokasi hingga ke daerah-daerah  guna perkembangan karir.              
Nasib yang sama juga terjadi pada kejaksaan. Laksmi Indriyah Rohmulyati, salah seorang jaksa wanita yang telah menjabat sebagai Kepala Hubungan Internasional Kejaksaan Agung Republik Indonesia, menggambarkan setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan jaksa wanita kalah cepat dalam urusan promosi jabatan dibandingkan dengan jaksa pria. Pertama, sama halnya dengan permasalahan yang ada pada lembaga kehakiman, sistem relokasi dinilai sulit diterapkan terhadap jaksa wanita. Banyak jaksa wanita setelah menikah justru meminta dikembalikan ke daerah asal. Kedua, pekerjaan jaksa menjadi cukup menyita waktu, ketika menangani kasus yang banyak, penting, ataupun menyita perhatian publik. Jam kerja lembur hingga larut malam membuat jaksa wanita lebih memilih menarik diri untuk menangani kasus tersebut.
Sedangkan pada lembaga kepolisian, Kolonel Sri Rumiati, Kepala Teknologi Kepolisian dan Pelatihan Manajemen Keamanan, mengkritisi minimnya promosi polisi wanita hingga pangkat yang lebih tinggi. Hingga saat ini baru terdapat 9 (sembilan) polwan yang berpangkat jenderal, dan semuanya bukan dipromosikan oleh kepolisian  sendiri.  Permasalahan tersebut didasarkan pada minimnya jumlah polisi wanita (polwan) dan penempatan bidang pekerjaan. Sri Rumiati mengeluhkan, jumlah pelamar polwan pada tahun 2013 ini hanya berkisar 3-6 % dari total pelamar. Sedangkan dalam penempatan bidang pekerjaan, polwan kerap tidak ditempatkan pada bidang operasional yakni, bidang penyidikan dan penyelidikan. Padahal dalam promosi karier di kepolisian didasarkan pada lamanya waktu kerja di bagian operasional tersebut.
Dari pernyataan tiga penegak hukum wanita diatas yang mewakili masing-masing institusi, diperoleh berbagai macam permasalahan terkait lambatnya karier bagi penegak hukum wanita yang berprofesi sebagai hakim, jaksa, dan polisi. Penulis cenderung membagi permasalahan tersebut ke dalam, 3 (tiga) bidang. Pertama di bidang budaya (kultural) di dalam masyarakat maupun di dalam institusi penegak hukum itu sendiri, yang cenderung “tidak memihak” karier penegak hukum wanita. Kedua pada bidang sistem yang berlaku di masing-masing institusi penegak hukum, yang kerap menyulitkan para penegak hukum wanita dalam promosi karier ke jenjang yang lebih tinggi. Serta pada bidang SDM di dalam institusi penegak hukum yang masih minim dalam hal jumlah penegak hukum wanita.

0 Response to "Sosok Wanita di Tengah Arus Maskulinitas Penegakan Hukum "

Posting Komentar